WALI NIKAH AB’AD PART 2
Dalam tulisan Wali Nikah Ab’ad Part 2 ini penulis tidak lagi menyertakan pendahuluan tetapi langsung ke pembahasan. Apabila pembaca ingin mengetahui pendahuluan maka pembaca kembali membaca Wali Nikah Ab’ad part 1
- Wali Nikah Ab ‘ad part 2
Kata ab ad berasal dari kata dasar ba ’a da yang artinya jauh sedangkan lawan kata dari ab ‘ad adalah akrab berasal dari qoroba yang artinya dekat. Kata ab ‘ad dihubungkan dengan wali nikah maka maksudnya adalah wali nikah yang jauh garis nasabnya dari mempelai wanita. Dan sebaliknya, jika kata akrab dihubungkan dengan wali nikah, maksudnya adalah wali nikah yang dekat hubungan nasabnya dengan mempelai wanita. Deretan wali nikah yang paling berhak menjadi wali bagi mempelai wanita adalah wali akrab. Wali ab ‘ad dalam pernikahan tidak boleh menjadi wali nikah jika masih ada wali akrab, karena Wali ab’ad adalah wali yang masih jauh hubungan kenasabannya dengan mempelai wanita. Seperti kakek adalah wali ab ad jika ayah mempelai wanita masih ada, tetapi ia akan menjadi wali akrab jika ayah mempelai wanita sudah tidak ada.
Dapat dipahami, apabila wali nikah golongan satu nomor urut satu tidak ada maka yang menjadi wali akrabnya adalah wali nikah golongan satu no urut dua, jika wali nikah golongan satu nomor urut dua tidak ada maka yang menjadi wali nikah golongan satu nomor urut tiga yang menjadi wali dan begitu seterusnya.
Apabila dalam wali nikah golongan satu tidak ada lagi maka wali nikah golongan dua nomor urut satu yang menjadi wali nikah, jika tidak ada maka nomor urut dua yang kan menjadi wali nikah nya dan demikian seterusnya.
Pernikahan yang dilaporkan di KUA Kecamatan Mataram Baru Kabupaten Lampung Timur dengan mempelai pria Suwandri bin Sudarto dan mempelai wanita Sutriani binti Suyud, disebutkan bahwa wali nasab ayah kandung mempelai wanita, Bapak suyut sudah almarhum maka dilaporkan lah dengan wali Paman kandung atas nama Ahmad Zaini. pada saat pemeriksaan ditanyakan ”ayahnya sudah almarhum, apakah kakek masih ada ,” mempelai wanita menjawab tidak ada pak,. Petugas melanjutkan, ”saudara kandung? ” ”kalau saudara kandung ada pak ’ kata mempelai wanita ” tapi masih kecil dan belum menikah ” lanjunya, kemudian didatangkanlah saudara kandung dari mempelai wanita ini. “Apakah sudah punya KTP ?” Tanya petugas ” belom pak” kata saudara kandungnya dan akhirnya dilaksanakan lah pernikahan dari calon pengantin ini dengan wali saudara kandung atas nama Rizki Ferdiansyah yang berumur 16 tahun dan sebelum penyerahan buku nikah petugas kembali berkata kepada pengantin bahwa buku nikahnya tertulis bapak Zaini selaku walinya. ”gak papa pak jawab Sutriani, istri dari Suwandri.
- Analisis hukum
Dari penjelasan di atas dapat analisis hukum dari pernikahan yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru Kabupaten Lampung Timur sebagai berikut :
- Mendahulukan Syariah (Syariah oriented)
Kaidah mengatakan “ ma tsabata bis syar’i muqoddamun ala ma wajaba bisy syarthi “ Artinya: “Apa yang telah tetap menurut syara‟ didahulukan daripada yang wajib menurut syarat.” Pernikahan yang dilaksanakan sesuai dengan hukum Islam harus dilakukan dengan wali akrab bukan wali abad, walaupun dicatatkan dengan wali nikah ab’ad. Melaksanakannya dengan hukum Islam adalah mendahulukan syariah. Jika dilaksanakan dengan wali ab’ad maka pernikahan tersebut tidak sah karena masih ada wali akrabnya. jika dilaksanakan sesuai dengan laporan maka pernikahan suami istri diatas tidak sah. Dengan diketahuinya oleh petugas bahwa wali akrabnya masih ada maka petugas melaksanakannya dengan wali akrab untuk menjaga agar tetap sah pernikahan suami istri tersebut. Dan pernikahan suami istri diatas sesuai dengan agama dan kepercayaan nya. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan beragama mereka lebih tinggi dari pada ketaatan terhadap syarat administrasi pernikahan.
- Menyalahi UU Perkawinan
Khusunya pasal 2 ayat 2 undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan yang berbunyi “(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dicatatkan dalam ayat tersebut adalah ditulis dengan keadaan yang sebenarnya terjadi, sementara pernikahan mempelai diatas tersebut dilaksanakan dengan wali nikah akrab (Rizki Ferdiansyah) tapi dicatatkan dengan wali nikah ab’ad (Zaini). Dalam KHI pasal 21 ayat (1) disebutkan bahwa : … Kedua, kelompok kerabat saudara laki laki kandung atau saudara laki laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka. Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka…[1]. Hal ini dapat dilihat ketika kedua mempelai melaporkan pernikahannya dengan wali paman kandung padahal masih ada saudara kandungnya. Laporan pernikahan dengan wali paman kandung bukan dengan saudara kandung karena mereka percaya dengan mitos, orang yang belum menikah tidak boleh menikahkan (jadi wali nikah). Saudara kandung dari mempelai wanita Rizki Ferdiansyah dalam hal ini belum menikah. Atau mereka beranggapan bahwa orang tersebut belum memenuhi syarat untuk menikahkan saudara kandungnya, karena statusnya jejaka (belum menikah). Ada anggapan dalam masyarakat, jika seseorang belum menikah maka tidak boleh menikahkan (menjadi wali nikah). Riski Ferdiansyah, Wali saudara kandung sudah dewasa atau baligh. Syarat menjadi seorang wali dalam pernikahan, salah satunya adalah baligh bukan sudah menikah. Orang yang sudah baligh adalah orang yang sudah dewasa. Dewasa dalam dalam undang undang Indonesia berbeda beda penentuan nya, seperti
- Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu)
Dalam Undang undang no. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden pasal 7, tertera “warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.(undang-undang no 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 19 ayat (1), ―Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih.‖, dan undang-undang no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 68, “Warga negara Republik Indonesia yang pada hari pemunguta suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Dalam undang undang ini menjelaskan mengenai batas usia dewasa.Namun di sini disinggung mengenai batas usia yang memiliki hak memilih. Hak memilih dapat diartikan sebagai batasan usia yang diperbolehkan melakukan perbuatan hukum, dalam hal ini mengambil keputusan untuk memilih pada pemilu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, berdasarkan Undang-Undang Pemilu disebut dewasa ketika seseorang telah memiliki hak pilih, yaitu usia 17 tahun ke atas, atau sudah pernah menikah.
- Undang-Undang Perlindungan Anak
Dalam Undang undang no. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak pasal 1 ayat (1), Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. (UU. no. 23 tahun 2002, pasal 1 ayat (1), hal. 2).Artinya batas usia dewasa menurut aturan ini adalah 18 tahun ke atas.
- Kompilasi Hukum Islam
Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 9 ayat (1), tertulis ”Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah dua puluh satu tahun, sepanjang anak tersebut tidak cacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.”
Artinya dewasa ketika sudah berumur 21 tahun atau sudah kawin, tidak cacat atau gila, dan dapat bertanggung jawab atas dirinya. (hak hadonah)
Undang-undang Republik Indonesia tidak menetapkan secara sepakat tentang batas usia dewasa. Bisa jadi perbedaan-perbedaan batas usia dewasa ini bukanlah merupakan hal yang salah, asalkan dalam peruntukannya sesuai dengan konteks keperluannya. Misalnya untuk keperluan pemilihan umum maka yang dipakai adalah undang undang pemilihan umum, untuk perlindungan anak maka yang dipakai adalah Undang Undang Pelindungan Anak dan untuk pernikahan adalah Undang Undang pernikahan dan Kompilasi Hukum Islam.
Dalam Undang Undang Pernikahan tidak disebutkan berapa batasan terkecil dari umur seorang wali, yang disebutkan adalah batasan dari seorang anak yaitu 18 tahun. Adanya syarat seorang wali nikah hanya ada dalam KHI , yaitu aqil dan baligh. Sedangkan aqil balig menurut KBBI adalah dewasa, sampai umur, bukan kanak kanak atau remaja. Hukum Islam membuat batasan dewasa (baligh) adalah dikatakan mukallaf, yaitu muslim yang dikenai kewajiban atau perintah dan menjauhi larangan agama. Seseorang berstatus mukallaf bila ia telah dewasa dan tidak mengalami gangguan jiwa maupun akal. Batasan dewasa atau baligh atau mukallap dalam hukum islam ada beberapa tandanya.
- Ihtilam,
Ihtilam adalah keluarnya mani baik karena mimpi atau karena lainnya. Dalilnya disebutkan dalam Al-Qur‘an, dimana Allah ta‘ala berfirman :
وَإِذَا بَلَغَ ٱلْأَطْفَـٰلُ مِنكُمُ ٱلْحُلُمَ فَلْيَسْتَـْٔذِنُوا۟ كَمَا ٱسْتَـْٔذَنَ ٱلَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ ۚ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ لَكُمْ ءَايَـٰتِهِۦ ۗ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌۭ ٥٩
Dan bila anak-anakmu telah sampai hulm (ihtilam), maka hendaklah mereka meminta ijin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta ijin. (An Nuur: 59).
Dan hadits dari ali bin abi tholib
عن علي رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: “رُفِعَ الْقَلَمُ عن ثلاثة: عن النائم حتى يَسْتَيْقِظَ، وعن الصبي حتى يَحْتَلِمَ، وعن المجنون حتى يَعْقِلَ”.
Dari Ali juga dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam: Diangkat pena tidak dikenakan kewajiban pada tiga orang: orang yang tidur hingga bangun, anak kecil hingga ihtilam, dan orang gila hingga berakal (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)[2].
Ijma‘ ulama bahwa ihtilam merupakan tanda kedewasaan bagi laki-laki dan perempuan.
- Tumbuhnya Rambut Kemaluan.
Tumbuhnya Rambut kemaluan menjadi pertanda baligh menurut mayoritas ulama madzhab dari kalangan Hanbali, Maliki dan Syafi‘i. Berdasar kepada hadits nabi
عَنْ عَطِيَّةَ الْقُرَظِيِّ قَالَ عُرِضْنَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ قُرَيْظَةَ فَكَانَ مَنْ أَنْبَتَ قُتِلَ وَمَنْ لَمْ يُنْبِتْ خُلِّيَ سَبِيلُهُ فَكُنْتُ مِمَّنْ لَمْ يُنْبِتْ فَخُلِّيَ سَبِيلِي
Athiyyah berkata: Kami dihadapkan kepada Nabi shallallaahu alaihi wasallam pada hari Quraidhah, di situ orang yang sudah tumbuh bulu kemaluannya dibunuh, sedang orang yang belum tumbuh dibiarkan. Aku adalah orang yang belum tumbuh maka aku dibiarkan [3].
Dari riwayat diatas, menunjukkan bahwa tumbuhnya rambut kemaluan adalah tanda balighnya seseorang. [4]
- Mencapai Usia tertentu menurut hitungan kalender Hijriyah.
Kalau seorang anak tidak mengalami fase ihtilam bagi lak-laki dan keluarnya darah haidh bagi perempuan maka kedewasaan dilihat dari usianya mencapai 15 tahun menurut madzhab Syafi‘i, Hanbali, sebagian pengikut madzhab Maliki dan sebagian pengikut madzhab Hanafi. Sedangkan madzhab Dzahiri berpendapat apabila berusia 19 tahun. Dalil yang dianggap paling shahih dan sharih oleh ulama yang memberikan batasan usia yang dibawakan dalam permasalahan ini adalah hadits
عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَرَضَهُ يَوْمَ أُحُدٍ وَهُوَ ابْنُ أَرْبَعَ عَشْرَةَ سَنَةً فَلَمْ يُجِزْهُ وَعَرَضَهُ يَوْمَ الْخَنْدَقِ وَهُوَ ابْنُ خَمْسَ عَشْرَةَ سَنَةً فَأَجَازَهُ
Dari Ibnu ‘Umar ra., ia berkata:. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjukku untuk ikut serta dalam perang Uhud, yang ketika itu usiaku empat belas tahun. Namun beliau tidak memperbolehkan aku. Dan kemudian beliau menunjukku kembali dalam perang Khandaq, yang ketika itu usiaku telah mencapai lima belas tahun. Beliau pun memperbolehkanku.[5]
Pandangan masyarakat, apabila seorang wali itu belum menikah, tidak boleh menikahkan atau jadi wali. Penulis dalam hal ini mengambil kesimpulan dengan menjadikan saudara kandungnya yang belum menikah sebagai wali dengan pertimbangan usia paling rendah dalam menetukan dewasa dalam hukum islam yaitu umur 15 tahun. Dengan mengacu kepada kaidah “izha ijtama amroni min jinsin wahidin wa lam yakhtalif maksuduhuma dahola ahadu huma fil akhori gholiban artinya: “Apabila berkumpul dua perkara satu jenis, dan tidak berbeda maksud dari keduanya, maka menurut biasanya yang satu masuk kepada yang lain.” Kaidah ini dipahami bahwa apabila ada dua perkara yang masuk kepada yang lain, maka cukup dikerjakan salah satu yang lebih besar dari dua perkara tersebut, karena sebenarnya yang lebih besar itu telah mencakup yang lebih kecil. Seorang yang berhadats kecil dan hadats besar (junub), maka cukup bersuci dengan mandi saja. “ jika diambil bagian yang paling besar dari sesuatu maka yang paling kecil sudah merupakan dalam bagian yang paling tersebut. Umur dewasa mulai 15 tahun maka, orang yang umurnya sudah melewati 15 tahun juga sudah termasuk dewasa. jadi mementukan 15 tahun sudah termasuk yang lainnya. Bahkan dalam kamus besar Bahasa Indonesia ukuran seorang dewasa adalah berumur 15 tahun.[6] Kedua Adanya wali dalam pernikahan hanya ada dalam pernikahan yang sesuai dengan hukum islam, maka penentuan dewasanya wali harus seuai dengan hukum islam karena sah pernikahan adalah sesuai dengan agama dan kepercayaaan masing masing.
- Mentaati Undang Undang
Pernikahan dengan wali akrab dicatatkan dengan wali ab ad adalah usaha untuk mentaati perundang undangan terutama dalam Undang Undang Pernikahan. Tujuannya benar tetapi jalan yang ditempuh tidak benar. Karena dalam undang undang syarat seorang dewasa adalah umur 18 tahun. Jika mempelai wanita diam, tidak memberitahukan yang sesungguhnya tentang wali nikahnya kepada KUA, maka mereka akan menikah dengan wali ab ad, pernikahan mereka tidak sah jika wali akrabnya masih ada, yang jelas jelas itu tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.
Pencatatan pernikahan yang tidak sesuai dengan agama dan kepercayaan masing masing tentu saja tidak sesuai dengan Undang Undang, tujuan salah dan jalannya juga salah. Penulisan akta nikah pada kolom wali nikah paman dan dilaksanakan dengan saudara kandung tidak mempengaruhi keabsahan pernikahan tersebut, tetapi pencatatan peristiwa pernikahan tersebut menyatakan bahwa peristiwa pernikahan itu memang ada dan terjadi. Kaidah fikih mengatatakan ’tasorruful imam ’ala ro’iyah manutun bilmaslahah’ . “ kebijakan pemimpin ( pemerintah) terhadap rakyatnya dikaitkan dengan kemaslahatan.” Pencatatan diwajibkan dalam rangka fungsi negara memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak sebagai warga negara. Hal tersebut merupakan tanggung jawab negara dan harus dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pencatatan perkawinan yang dilakukan oleh negara untuk warga negaranya karena Perkawinan adalah perbuatan hukum penting dalam kehidupan yang dilakukan oleh pasangan yang bersangkutan dan tentu menimbulkan konsekuensi yuridis yang sangat luas. Berkaitan dengan hal tersebut, dokumen yang dihasilkan dari pencatatan perkawinan di kemudian hari dapat dibuktikan dengan bukti yang sempurna dengan suatu akta otentik, sehingga perlindungan dan pelayanan oleh negara terkait dengan hak-hak yang timbul dari suatu perkawinan dapat terselenggara secara efektif dan efisien.
- Kesimpulan
Pernikahan dengan wali akrab yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru dan dicatatkan dengan wali nikah ab’ad
- Mendahulukan Syariah (Syariah oriented)
- Menyalahi UU perkawinan
- Mentaati Undang Undang
[1] . KHI pasal 21
[2] . Sunan at-Tirmidzi (no. 574), Shahiih Muslim (II/787, no. 1116 (96)), Sunan at-Tirmidzi (II/108, no. 708).
[3] . HR. Tirmidzi 1510 .
[4] . Tuhfatul-Maulud bi Ahkaamil-Maulud oleh Ibnul-Qayyim halaman 210
[5] . HR. Al-Bukhari 3788
[6] . https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/akil%20balig tgl 17 11 2022 jam 10.20