MENIKAHI WANITA HAMIL KARENA ZINA
DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh :Herizal, S. Ag.,M.A
(Kepala KUA Depati Tujuh Kerinci Jambi)
- Pendahuluan
Cinta kepada lawan jenis adalah fitrah manusia. Hasrat untuk berhubungan seks dengan lawan jenis juga fitrah manusia. Namun, agama Islam mengharamkan hubungan seks antara laki-laki dan perempuan kecuali kalau mereka sudah menikah.
Hubungan seks antara laki-laki dan perempuan tanpa menikah disebut zina, dan zina haram hukumnya didalam agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat :
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلً
Artinya :
“Dan janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk”.[1]
Tetapi pada kenyataannya ada disekitar kita yang melakukan zina / hubungan seks di luar nikah sehingga sampai terjadi hamil di luar nikah, yang akhirnya ada 2 solusi yang dilakukan yaitu pria yang menghamilinya dituntut untuk bertanggung jawab menikahi wanita tersebut. Atau adanya pria lain yang dicarikan untuk menikahi wanita tersebut guna menutupi aib si wanita / keluarga si wanita. Hal ini, menyebabkan para ulama berbeda pendapat dalam menentukan hukum dari fenomena-fenomena tersebut. [2]
Kehamilan dapat terjadi melalui perkawinan yang legal, maupun melalui hubungan akibat perkosaan, atau hubungan suka-sama suka diluar nikah yang disebut dengan perzinahan/ prostitusi. Apalagi pergaulan bebas antara muda mudi , seperti yang terjadi saat ini, seringkali membawa hal-hal yang tidak diinginkan, yakni terjadinya kehamilan sebelum sempat dilakukan pernikahan. Dengan demikian hamil sebelum diadakan akad nikah telah menjadi problema yang membutuhkan pemecahan,sehingga terjadi kegelisahan dikalangan masyarakat maupun para ulama , yang ditangan merekalah terletak tanggung jawab yang sangat besar, terlebih lagi menyangkut masalah hukum islam/syari’at. Kebiasaan Orang tua yang merasa malu karena putrinya hamil diluar nikah , mereka biasanya berusaha menikahkan putrinya dengan laki-laki yang menghamilinya maupun yang bukan menghamilinya.Sekarang ini menikahi wanita hamil karena zina bukanlah masalah baru karena pada zaman rasulullah juga pernah terjadi. Padahal islam menganjurkan nikah dan melarang zina,karena zina adalah sumber kehancuran.
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan ikhtilaful ulama dalam menentukan hukum berkaitan dengan fenomena-fenomena tersebut.
- Pengertian Nikah
Dari segi bahasa “Nikah” memiliki pengertian sebenarnya (hakikat) dan pengertian sindiran (Majaz). Arti yang sebenarnya dari perkataan “Nikah” adalah “Dham” yang berarti “menghimpit”, “menindih” atau “berkumpul” sedangkan arti kiasan dari perkataan “nikah” adalah “Watha” yang berarti “setubuh” atau “aqad” yang berarti “mengadakan perjanjian pernikahan”.[3]sedangkan yang akan dibahas adalah fenomena khusus yaitu menikahi wanita hamil. Ada 2 kemungkinan yang akan terjadi yaitu :
- Pria yang menikahi wanita wanita hamil adalah yang menghamilinya.
Hal ini sering terjadi di lingkungan kita, karena si pria dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatannya melakukan hubungan seks dengan seorang wanita sebelum terjadi akad nikah menurut ajaran Islam.
- Pria yang menikahi wanita hamil bukan yang menghamilinya.
Hal ini biasanya terjadi, karena untuk menutupi malu keluarga si wanita, misalnya seorang wanita berhubungan seks dengan seorang pria dan kemudian pria tersebut tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya itu, lalu dicarikan pria lain untuk menikahi wanita tersebut.[4]
Zina adalah munculnya perbuatan dalam arti yang sebenar-benarnya dari seorang yang baligh, berakal sehat, sadar bahwa yang dilakukannya itu perbuatan haram, dan tidak dipaksa. Dengan demikian, tidaklah disebut zina bila perbuatan itu dilakukan oleh orang yang belum baligh, gila, tidak tahu keharamannya, dipaksa dan mabuk.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Zina adalah perbuatan bersenggama laki-laki dan perempuan yang tidak terikat hubungan pernikahan (perkawinan).
- Landasan Hukum Dan Beberapa Pendapat Ulama
Tujuan pernikahan dalam Islam adalah mewujudkan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Tentunya ini adalah impian setiap insan yang menginginkan rumah tangga yang bahagia dan kekal, menjadikan hidup lebih tenang bersama suami istri. Sebagaimana firman Allah dalam Al qur’an surah Ar-Ruum ayat 21 :
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَآيَاتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
Artinya :“ Dan diantara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir”.[5]
Agar tujuan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah dapat terwujud yakni melalui perkawinan yang sah. Perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi rukun dan syarat-syaratnya.. Namun, tidak semua orang dapat melangsungkan perkawinan seperti yang disebutkan di atas. Ada kalanya perkawinan itu pada awalnya harmonis, namun di tengah perjalanan terjadi ketidak harmonisan di antara keduanya. Ada pula seorang laki-laki dan perempuan terpaksa menikah karena hamil lebih dulu sebelum menikah. Dan masih banyak lagi permasalahan yang menyangkut pernikahan. Allah berfirman dalam Al qur’an surah An Nur ayat 3 :
الزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya :
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan musyrik, dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin”.[6]
Maksud ayat tersebut ialah tidak pantas seorang pria yang beriman kawin dengan seorang wanita yang berzina, demikian pula sebaliknya wanita yang beriman, tidak pantas kawin dengan pria yang berzina.[7]
Dari ayat di atas kita dapat mengambil satu hukum yaitu haramnya menikahi wanita yang berzina dan haramnya menikahkan laki-laki yang berzina, dengan arti bahwa seseorang tidak boleh menikahi wanita itu dan si laki-laki itu tidak boleh bagi seseorang (wali) menikahkannya kepada putrinya.
Mengenai sebab turunnya ayat tersebut, menurut riwayat Mujahid, ‘Ata dan Ibn Abi Raba serta Qatadah menyebutkan bahwa “orang-orang muhajirin tiba di Madinah, diantara mereka ada orang-orang fakir, tidak memiliki harta dan mata pencaharian, dan di Madinah terdapat wanita-wanita tuna susila ( pelacur ) yang menyewakan diri mereka, mereka pada saat itu termasuk usia subur warga Madinah. Pada tiap-tiap orang dari mereka terdapat tanda dipintunya seperti papan nama dokter hewan ( Al-Baitar ), dimaksudkan agar dikenali bahwa ia adalah pezina. Tidak ada seorang pun yang masuk kecuali laki-laki pezina dan orang-orang musyrik. Orang-orang fakir Muhajirin senang terhadap pekerjaan mereka. Lalu mereka berkata : “Kita nikahi mereka hingga Allah menjadikan kita kaya dari mereka”. Mereka kemudian memohon izin kepada Rasulullah SAW, maka turunlah ayat 3 Surat Al-Nur di atas.
Dalam Hadits yang diriwayatkan Imam Turmudzi dan Ibn Hibban disebutkan :
عَنْ رُوَيْفِى بن ثَابِتْ رَضِيَ الله عَنهُ قالَ, قالَ رَسوْلُ الله صلي الله عليه وسلم لاَيَحِلُّ لاِمْرِئٍ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يَسْقِ مَاءَهُ زَرْعَ غَيْرِهِ
Artinya :“Dari Ruwaifi bin Tsabit RA berkata, Rasululullah bersabda : tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, menuangkan air bibitnya pada tanaman orang lain”.[8]
Dalam Kompilasi Hukum Islam Bab VIII pasal 53 ayat (1), (2), dan (3) dicantumkan bahwa :
- Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang tersebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandungnya lahir.[9]
Jika pria yangmenikahi wanita hamil tersebutadalah priayang menghamilinya ada beberapa pendapat ulama :
- Ulama madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah atau boleh bercampur sebagai suami istri dengan ketentuan bila si pria itu yang menghamilinya dan kemudian baru ia mengawininya.
- Ibnu Hazm ( adzamiri ) berpendapat bahwa perkawinan keduanya sah dan boleh bercampur, tetapi dengan catatan jika mereka telah bertaubat dan menjalani hukuman dera ( cambuk ) karena mereka telah berzina.
Pendapat ini berdasarkan pada hukum yang pernah ditetapkan oleh sahabat Nabi antara lain :
- Ketika Jabir bin Abdillah ditanya tentang kebolehan mengawinkan orang yang telah berzina, maka beliau berkata : “Boleh mengawinkannya, asal keduanya telah bertaubat dan memperbaiki sifat-sifatnya.
- Seorang laki-laki tua menyatakan keberadaannya kepada Khalifah Abu Bakar, dan berkata : “Ya Amirul Mukminin, putriku telah dicampuri oleh tamuku, dan aku inginkan agar keduanya dikawinkan”. Ketika itu khalifah memerintahkan kepada sahabat lain, untuk melakukan hukuman dera ( cambuk ) kepada keduanya, kemudian dikawinkannya.
Jika pria yang menikahi wanita hamil tersebut bukan priayang menghamilinya dalam hal ini ada beberapa pendapat dari para ulama :
- Imam Abu Yusuf mengatakan, keduanya tidak boleh dikawinkan, sebab bila dikawinkan perkawinannya itu batal Pendapat beliau berdasarkan pada firman Allah QS. An-Nur : 3
Ibnu Qudaimah sejalan dengan pendapat Imam Abu Yusuf dan menambahkan, bahwa seorang pria tidak boleh mengawini wanita yang diketahuinya telah berbuat zina dengan orang lain, kecuali dengan 2 syarat :
- Wanita tersebut telah melahirkan, bila dia hamil. Jadi dalam keadaan hamil tidak boleh kawin
- Wanita tersebut telah menjalani hukuman dera
(cambuk), apakah dia hamil atau tidak.
- Imam Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani mengatakan, bahwa perkawinannya itu sah, tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
Pendapat ini berdasarkan hadits :
Janganlah engkau campuri wanita yang hamil, sehingga lahirkandungannya
Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan itu dipandang sah, karena tidak terikat dengan perkawinan orang lain ( tidak ada masa ‘iddah ). Wanita itu boleh juga dicampuri, karena tidak mungkin nasab ( keturunannya ) bayi yang dikandung itu ternodai oleh sperma suaminya.
Mengenai bayi yang dilahirkan, sepakat Ulama Hukum Islam menetapkan bahwa status anak itu termasuk anak hasil zina bila laki-laki yang mengawininya bukan yang menghamilinya, akan tetapi bila yang mengawini itu orang yang menghamilinya, maka terjadi dua macam pendapat dikalangan ulama, yaitu :
- Ada yang menetapkan bahwa bayi itu termasuk anak hasil zina, bila ibunya dikawini setelah kandungannya berumur 4 bulan keatas, dan bila kurang dari umur kandungan tersebut, maka bayi yang dilahirkannya termasuk anak suaminya yang sah.
- Ada lagi yang menetapkan bahwa bila ibunya sudah hamil, meskipun kandungannya baru beberapa hari, kemudian dikawini oleh orang yang menghamilinya, maka bayi yang dilahirkannya bukan anak suaminya yang sah. Karena keberadaannya dalam kandungan, mendahului perkawinan ibunya, maka bayi tersebut termasuk anak hasil zina.
Menurut Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi dalam bukunya Masailul Fiqhiyah, menuturkan dilihat secara hukum perdata Islam, anak hasil zina itu suci dari segala dosa orang yang menyebabkan eksistensinya didunia ini, sesuai dengan hadits nabi Muhammad SAW Artinya :
“Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci/bersih (dari segala dosa), Maka kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anaknya Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR. Thabrani dan Baihaqi dari Al Aswad bin Sari)
Dan diperkuat dengan firman Allah dalam surat An-Najm, ayat 38
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ
Artinya : “Bahwasannya seseorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain”[10]
Oleh karena itu anak hasil zina harus diperlakukan secara manusiawi, diberi pendidikan, pengajaran, dan keterampilan yang berguna untuk bekal hidupnya dimasyarakat nanti. Perlu ditambahkan bahwa anak yang lahir sebelum 6 bulan dari perkawinan, maka “sang ayah” berhak menolak keabsahan anak itu menjadi anaknya, sebab masa hamil yang paling sedikit berdasarkan Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 233 dan surat Al Ahqaf ayat 15 adalah 6 bulan. Sedangkan masa hamil yang terlama dari seorang wanita hamil tidak ada nash yang jelas didalam Al Qur’an dan Sunnah.
- Status Anak Hasil Hubungan Diluar Nikah
Pada dasarnya, setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, termasuk juga anak yang dilahirkan akibat hubungan diluar nikah, dan tidak dibebani sedikit pun dosa oleh perbuatan siapa pun termasuk dosa yang dilakukan kedua orang tuanya.
Semua mazhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali) telah sepakat bahwa anak hasil zina itu tidak memiliki nasab dari pihak laki-laki, dalam arti dia tidak memiliki ayah. Meskipun si laki-laki yang menzinainya dan yang menabur benih itu mengaku bahwa dia itu anaknya. Pengakuan ini tidak dianggap, karena anak tersebut hasil hubungan di luar nikah. Walaupun si wanita yang dizinai itu bersuami ataupun tidak bersuami tetap tidak berbapak. Berdasarkan Sabda Nabi SAW :
“setiap anak dinasabkan kepada ayahnya yang sah, dan tiada hak apapun bagi si pezina”
Oleh karena itu anak hasil zina itu tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina maka :
- Anak itu tidak berbapak
- Anak itu tidak saling mewarisi dengan laki-laki itu
- Bila anak itu perempuan dan dikala dewasa ingin menikah, maka walinya adalah wali hakim.[11]
Dalam Kompilasi Hukum Islam kalimat yang mempunyai makna “anak zina” adalah “anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah” sebagaimana yang terdapat pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam, yang menyebutkan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
Semakna dengan ketentuan tersebut, Pasal 186 Kompilasi Hukum Islam menyatakan :
“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan saling mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak ibunya”[12]
- Penutup
- Kesimpulan
Dalam kasus seorang wanita telah berbuat zina dan hamil dari perbutannya tersebut, kemudian ia menikah dengan laki-laki yang menghamili itu, maka mayorits fuqoha pun berpendapat boleh dan sah pernikahan mereka dalam hukum syari’at islam.
Dalam kasus seorang wanita telah berbuat zina dan hamil karena perbuatannya, tetapi dia akan menikah dengan laki-laki lain, dalam hal ini ada perbedaan pendapat dikalangan mazhab dan ulama Islam. Mazhab Hanafimemandang dan berpendapat boleh pernikahan tersebut dilakukan , tetapi mereka tidak boleh melakukan hubungan suami istri, sampai bayinya lahir. Larangan ini seperti dalam hadis nabi. “tidak halal lagi bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, menuangkan air bibitnya pada tanaman orang lain”.
Mazhab Syafi’i berpendapat nikahnya dibolehkan dan berhubungan suami isteri ( Watha’) juga dibolehkan. Berbeda dengan mazhab Maliki dan Hanbali Nikah tidak boleh apalagi berhubungan suami isteri (Watha’).
Dalam kasus wanita tersebut menikah bukan dengan pria yang menghamilinya, Imam Muhammad bin Al- Hasan Al- Syaibani mengatakan bahwa perkawinannya itu sah tetapi haram baginya bercampur, selama bayi yang dikandungnya belum lahir.
- Saran
Dalam penulisan makalah ini penulis menyadari banyak terdapat kekurangan dan kealfaaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari Pembaca sehingga Artikel ini bisa mendekati kesempurnaan. Amin Ya Rabbal ‘Alamin
Penulis :
Nama : HERIZAL, S. Ag.,M.A
NIP : 197903222005011005
Pangkat/Gol : Pembina Utama Muda, IV/c
Jabatan : Penghulu Ahli Madya (Kepala KUA)
Tempat Tugas : KUA Depati Tujuh Kerinci Jambi
DAFTAR PUSTAKA
Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya,(2012) Jakarta : Sinergi Pustaka Indonesia
Ibnu Hajar Al Haitami, Fatawa Kubro (Bab Kitabun nikah),
Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, (1998) Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah, Cet. II, (1997) Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (2007) Jakarta: Amzah
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (1992) Jakarta : Akademia Pressindo
Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para ulama,(2002) Bandung: Mizan
[1]Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Sinergi Pustaka Indonesia : 2012), h. 388
[2]Ahmad Rofik, Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada :1998 ), h. 165
[3]Kamal Mukhtar, Asas – asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1974), h. 1
[4]Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah, Cet. II, ( Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1997 ), h. 85
[5] Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 572
[6]Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 488
[7]Ali Hasan, Masailul Fiqhiyah Al-Haditsah, h. 87
[8]Masjfuk Zuhdi, Masa’il Fiqhiyah Kapita Selekta Hukum Islam, (Jakarta: Amzah, 2007), h. 145
[9]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, ( Jakarta : Akademia Pressindo, 1992) h. 7
[10]Kementerian Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, h. 766
[11]Muhammad Baqir Al-Habsyi, Fiqih Praktis, menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan pendapat para ulama,(Bandung: Mizan,2002), h. 28
[12]Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, h. 26