Menu

Mode Gelap

Karya Ilmiah · 1 Okt 2024 20:08 WIB ·

Wali Nikah Palsu Part 1


 Wali Nikah Palsu Part 1 Perbesar

WALI NIKAH PALSU PART 1

  1. Pendahuluan

Pencatatan pernikahan di Indonesia adalah aturan yang diwajibkan oleh negara untuk warga negaranya Pencatatan pernikahan adalah pendataan administrasi perkawinan yang ditangani oleh petugas pencatat nikah (PPN) dengan tujuan untuk menciptakan ketertiban hukum. Pencatatan pernikahan pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan terhadap istri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti hak waris dan lain-lain.

Pernikahan merupakan salah satu perikatan yang telah disyariatkan dalam Islam. Hal tersebut dilaksanakan  untuk memenuhi perintah Allah agar manusia tidak terjerumus ke dalam perzinaan. Dalam kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI) pasal (2) berbunyi

“Perkawinan dalam hukum Islam pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau mitsȃqon gholȋdhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.[1]

Undang Undang Dasar Negara Republik  Indonesia menjamin bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui pernikahan yang sah.  Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa, suatu pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut  hukum masing masing agama dan kepercayaannya, dan disamping itu setiap pernikahan harus dicatatkan.

Pernikahan dalam Islam adalah suatu akad atau perjanjian yang mengikat antara laki laki dan perempuan. Pernikahan menghalalkan hubungan biologis antara kedua belah pihak dengan sukarela berdasarkan syarat Islam, sebab pernikahan tidak hanya dipertalikan  oleh ikatan lahir saja, tetapi juga dengan ikatan batin. Pernikahan adalah jalan untuk mendapatkan keturunan secara sah.

Pernikahan yang tidak tercatat dianggap tidak sah menurut hukum negara. Pernikahan yang tidak dicatatkan tidak mendapat perlindungan hukum, jika terjadi masalah dalam rumah tangga, akan memberikan dampak negatif bagi status anak. Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Selama pernikahan ini belum tercatat, pernikahan itu masih belum dianggap sah menurut ketentuan hukum positif. Sekalipun suami istri menikah memenuhi prosedur dan tata cara menurut ketentuan Agama dan kepercayaannya.

Buku nikah dapat membuktikan keturunan sah yang dihasilkan dari pernikahan tersebut dan memperoleh hak haknya sebagai ahli waris. Membuktikan sebuah pernikahan seseorang dengan pasangannya mungkin akan sulit oleh pihak pengadilan bila pernikahan itu tidak tercatat.  Terutama jika terjadi masalah, antara lain mengenai sah tidaknya anak yang dilahirkan, hak dan kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan dengan tidak tercatatnya hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah satu pihak berpaling dari tanggung jawabnya dan menyangkal hubungannya sebagai suami istri.

Tujuan pencatatan pernikahan untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan pernikahan. Sehingga memberikan kekuatan tentang telah terjadinya pernikahan, dan para pihak dapat mempertahankan keabsahan pernikahan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum.  Sebaliknya jika tidak dicatat pernikahan, maka pernikahan yang dilangsungkan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pencatatan pernikahan merupakan suatu yang harus dipenuhi. Diadakan pencatatan nikah setelah terpenuhi syarat dan rukun dari sebuah pernikahan. Selain harus memenuhi ketentuan dan syarat syarat pernikahan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya, Prinsip pencatatan pernikahan yang dianut dalam Undang Undang nomor 1 tahun 1974 menjadi tidak bermakna bilamana keabsahan suatu pernikahan tidak terkait dengan pencatatan pernikahan sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Dalam peraturan perundang undangan pernikahan di Indonesia, eksistensi prinsip pencatatan pernikahan terkait dengan dan menentukan keabsahan suatu pernikahan. Artinya selain mengikuti ketentuan masing masing hukum agamanya atau kepercayaannya, juga sebagai syarat sahnya suatu pernikahan.  Oleh karena itu pencatatan dan pembuatan akta pernikahan harus sesuai dengan kenyataan yang sesungguhnya. Jika kenyataan sesungguhnya wali nasab maka dituliskan dalam buku dan akta nikah wali nasab. Jika saksinya pak slamet, misalnya, harus dituliskan (dicatatkan) saksi pak slamet, jika dituliskan dengan pak bejo padahal sesungguhnya yang menjadi saksi pak slamet maka dalam pencatatan tersebut tidak sesuai dengan peraturan pencatatn, sedangkan pencatatan harus sesuai dengan undang undang yang berlaku karena pencatatan  merupakan suatu kewajiban dalam peraturan perundang undangan pernikahan di Indonesia.

  1. Pencatatan Pernikahan

Pencatatan pernikahan di Indonesia merupakan salah satu hukum yang berasaskan syariah dan undang undang. Berdasarkan syariah dengan mengambil dalil Argumentasi hukum islam sebagai landasan untuk menjadikan pencatatan sebagai rukun atau syarat sahnya pernikahan sangat jelas. Pertama, Berqiyas kepada ayat mudayanah, yang mewajibkan pencatatan hutang piutang.

Hukum Islam menerima kebiasaan yang baik (maslahah) selama kebiasaan tersebut membawa kemaslahatan. Pencatatan pernikahan pun memenuhi unsur unsur kebiasaan yang baik dan bermanfaat serta jauh dari unsur keburukan dan kemudaratan. Kondisi tersebut dapat dibuktikan menjadi teraturnya administrasi negara dalam bidang kependudukan dan catatan sipil ketika aturan pencatatan pernikahan dipatuhi oleh seluruh masyarakat.

Demikian sebaliknya, administrasi bidang kependudukan dan catatan sipil akan menjadi carut marut sebagai akibat banyaknya pernikahan yang tidak dicatatkan. Pencatatan pernikahan pun memenuhi kriteria maslȃhah mursalah. Pencatatan pernikahan menonjolkan prinsip mengambil kemaslahatan dan menghilangkan kesulitan (jalbul mashȃlih wa daf’ul mafȃsid)  yang dapat menghindarkan persoalan mal administrasi di masa yang akan datang. Mencermati berkembangnya pola kependudukan di dalam masyarakat Indonesia, tentu pencatatan pernikahan sebagai bagian dari administrasi sangatlah diperlukan untuk mencegah kemungkinan kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Memperhitungkan sesuatu itu lebih baik atau adanya sesuatu itu lebih baik adalah definisi istihsan. Adanya pencatatan pernikahan dengan mengedepankan manfaat manfaat dari pencatatan itu adalah sebuah kebaikan atau akan menjadi lebih baik dalam menjalani rumah tangga. Untuk mencegah adanya penyelewengan dalam sebuah rumah tangga maka di syaratkanlah pencatatan.  dari maslahah mursalah dan saddu syariah , serta istihsan Peraturan Menteri Agama nomor 20 tahun 2019 Tentang Pencatatan Pernikahan  pasal 1 ayat (1) berbunyi :

Pencatatan Pernikahan adalah kegiatan pengadministrasian peristiwa pernikahan.” [2]

  1. Manfaat Pencatatan Pernikahan

Pencatatan pernikahan di Indonesia merupakan salah satu hukum yang berasaskan agama dan undang undang. Sebagaimana telah dipaparkan di atas maka manfaat pencatatan pernikahan di antaranya adalah :

  1. Tertib Administrasi.

Pencatatan pernikahan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban administrasi pernikahan dalam masyarakat, baik pernikahan yang dicatatkan di KUA maupun di Kantor Catatan Sipil. Pencatatan pernikahan merupakan upaya untuk menjaga kesucian aspek hukum yang timbul dari ikatan pernikahan tersebut. Realisasi pencatatan itu, melahirkan akta nikah yang masing masing dimiliki oleh suami istri salinannya berupa buku nikah. Akta nikah tersebut, dapat digunakan bila ada yang merasa dirugikan. Dalam KHI pasal 5 ayat 1 berbunyi:

“Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.[3]

  1. Mempunyai Kekuatan Hukum.

Pernikahan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mempunyai kekuatan hukum. Dalam Pasal 6 ayat (2) KHI disebutkan:

“(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum”.[4]

Walaupun pernikahan tersebut telah dilaksanakan sesuai ketentuan syariat agama Islam, namun masih dianggap sebagai tindakan penyelundupan hukum. Adanya pencatatan pernikahan bertujuan untuk menjadikan peristiwa pernikahan jelas terhadap pihak yang terkait. Status hukum orang yang bersangkutan menjadi jelas dan aman. Pernikahan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang dicatat oleh penghulu/PPN. Legalitas formal ini memberikan kepastian hukum bagi keabsahan suatu ikatan pernikahan bagi suami maupun istri, dan bagi anak anak yang akan dilahirkan.

  1. Perlindungan Hukum.

Pengaduan suami atau istri tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebagai korban tidak akan dibenarkan. Karena pihak yang mengadukan tidak mampu menunjukkan akta nikah yang resmi. Adanya resepsi dan saksi yang hadir saat prosesi pernikahan sudah memenuhi salah satu syarat sahnya pernikahan. Namun akan lebih baik lagi jika pernikahan itu dicatatkan untuk memperoleh perlindungan hukum. Dengan hadirnya penghulu, maka negara ikut mengakui adanya pernikahan. Ini merupakan cara terbaik untuk mencegah fitnah serta memberikan posisi yang pasti bagi suami dan istri di hadapan hukum. Meski pernikahan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara pernikahan tersebut dianggap tidak sah jika belum tercatat.

  1. Melindungi Harta

Pencatatan nikah juga bermanfaat memberikan perlindungan hukum terhadap harta yang didapat dalam pernikahan. Apabila terjadi perselisihan yang mengakibatkan keduanya berpisah, maka tidak ada pembagian gono gini, karena tidak ada pencatatan pernikahan yang membuktikan keduanya sebagai sepasang suami istri yang sah di hadapan hukum. Jika salah satu tidak menunaikan kewajibannya maka yang lain tidak dapat menuntut supaya memenuhi tanggung jawabnya. Akta nikah adalah bukti yang memuat peristiwa hukum pernikahan, sehingga pernikahan mempunyai kekuatan hukum yang pasti.[5]

  1. Alat Bukti Otentik.

Pernikahan dibuktikan dengan akta nikah, dan suami isteri mendapat buku nikah, maka akta nikah itu dapat dijadikan sebagai alat bukti adanya pernikahan. Akta nikah kegunaannya adalah agar lembaga pernikahan memiliki tempat yang sangat penting dan strategis dalam masyarakat Islam. Akta nikah dapat melindungi dari upaya upaya negatif, pihak pihak yang tidak bertanggung jawab. Pencatatan pernikahan yang menerbitkan akta nikah merupakan alat bukti otentik adanya pernikahan dengan termuatnya tanda tangan para pihak dalam Akta nikah tersebut.[6]

  1. Anak Terlindungi.

Upaya perlindungan terhadap anak perlu dilaksanakan sedini mungkin. Sejak calon mempelai melangsungkan pernikahan agar anak yang akan dikandung sampai lahir, tumbuh dan berkembang sebagai anak yang berkualitas baik secara mental maupun spiritual. Upaya yang harus dilakukan oleh calon mempelai antara lain adalah mendaftarkan dan mencatatkan pernikahan mereka kepada lembaga yang berwenang. Melalui proses pencatatan pernikahan, suatu pernikahan yang dilakukan dapat dibuktikan bahwa benar benar ada sehingga terwujud kepastian hukum bagi anak anak yang terlahir dari ikatan pernikahan tersebut. Anak dapat membuktikan kedudukannya dengan mudah di hadapan hukum maupun di dalam lingkungan masyarakat sebagai anak yang sah dari orang tuanya .[7]

Jika pernikahan orang tuanya tidak dicatatkan maka  anak dianggap sebagai anak luar nikah dicantumkan dalam akta kelahiran nama ibu yang melahirkannya. Anak dengan status seperti ini, sulit untuk memperoleh berbagai fasilitas dan layanan umum seperti bantuan sosial, layanan kesehatan dan sekolah atau pendidikan. Hal ini tentu saja akan membatasi anak mendapatkan sekolah dengan kualitas yang lebih baik, ini juga akan berdampak tidak baik secara sosial maupun psikologis dalam masyarakat  bahkan bisa saja ayahnya menyangkal kebenaran anak kandungnya. [8]

  1. Memudahkan Pengurusan Administrasi

Pencatatan pernikahan juga memberikan kemudahan pengurusan administrasi yang timbul dari pernikahan tersebut.  Jika ikatan pernikahan memiliki akta nikah bisa digunakan untuk mempermudah berbagai urusan birokrasi setelah pasangan menikah. Seperti pengajuan tunjangan keluarga, asuransi, atau izin mendampingi pasangan yang ditugaskan di luar negeri, pengurusan akta kelahiran dan sebagainya.

  1. Memastikan Istri dan Anak Mendapat Haknya

Dengan pernikahan hak dan kewajiban timbal balik antara suami dan istri akan timbul dengan adanya pernikahan. Seperti hak nafkah, warisan, tunjangan dan lain lain. Apabila hak dan kewajiban dilanggar, tidak ada pelayanan upaya hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Anak dan Ibunya tidak berhak atas nafkah dan Warisan dan berbagai tunjangan lainnya dari suami.

  1. Terjamin Keamanannya

Sebuah pernikahan yang dicatatkan akan terjamin keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan lainnya. Misalnya, seorang suami atau isteri hendak memalsukan nama mereka yang terdapat dalam buku nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian akta nikah itu dapat dibandingkan dengan salinan akta nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang bersangkutan menikah dahulu.

  1. Wali Dalam Pernikahan.

Keberadaan wali nikah mutlak harus ada dalam sebuah pernikahan. Urgensi adanya wali sangat penting, artinya sangat dibutuhkan peranannya dan pertanggung jawabannya terhadap sah tidaknya suatu akad perkawinan. Karena kehadiran seorang wali termasuk salah satu rukun pernikahan. Sebagaimana dijelaskan dalam KHI pasal 14 disebutkan bahwa melaksanakan perkawinan harus ada; calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, ijab dan qabul.[9]

Pernikahan memiliki syarat dan rukun, diantaranya adanya seorang wali nikah. Wali dalam pernikahan merupakan rukun, artinya harus ada dalam pernikahan bagi seorang calon istri. Tanpa adanya wali, pernikahan dianggap tidak sah.Wali adalah orang yang memegang sah tidaknya pernikahan, oleh karena itu tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. Apabila dalam perkawinan tidak ada wali, pernikahan tersebut  cacat  hukum  dan  dikategorikan  sebagai  nikah  bathil  atau nikah rusak.  Berkaitan dengan wali Rasulullah saw bersabda:

عَنْ أَبِي بُرْدَةَ عَنْ أَبِيهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ

Dari Abi Burdah bin Abi Musa dari Ayahnya berkata bahwa Rasulullah saw telah bersabda,”Tidak ada nikah kecuali dengan wali”.[10]

Hal tersebut diperjelas KHI pasal 19 yang menyebutkan bahwa;

“Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya.” [11]

Wali dalam pernikahan terbagi dua yaitu wali nasab dan wali hakim.

  1. Wali nasab

Wali nasab, mempunyai kewenangan dalam perwalian nikah, sesuai urutan kedudukannya yang terdekat dengan calon mempelai perempuan. Kewenangan yang mereka peroleh karena kedudukan mereka sebagai keluarga terdekat. Jika mereka tidak ada, atau mereka tidak memenuhi syarat menjadi wali, atau mereka enggan, perwalian yang seharusnya menjadi hak mereka berpindah kepada hakim. Kewenangan yang dimiliki oleh wali hakim ialah berdasarkan kekuasaan yang ada padanya yaitu kedudukannya sebagai penguasa atau pemerintah.

Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya. Yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah. Wali hakim dapat bertindak sebagai wali nikah, apabila wali yang lebih dekat tidak ada atau tidak memenuhi syarat menjadi wali dan boleh jadi pindah kepada wali yang lebih jauh. Apabila wali yang lebih dekat sedang berpergian atau tidak di tempat, maka wali yang jauh hanya dapat menjadi wali apabila telah mendapat kuasa dari wali yang lebih dekat. jika pemberi kuasa tidak ada maka hak perwalian pindah kepada wali hakim.

Beralihnya hak perwalian kepada wali hakim ditentukan apabila memang seluruh urutan tertib wali nasab sudah tidak ada atau masih ada tetapi pada urutan paling dekat dari jajaran wali nasab tersebut ternyata terdapat halangan untuk melaksanakannya. Sebagai gambaran mengenai berpindahnya wali nasab kepada wali hakim, misalnya Ikhwan adalah wali nikah bagi calon mempelai yang bernama Nisa, dengan kedudukan sebagai saudara kandung. Ikhwan mempunyai halangan menjadi wali, karena dipenjara sehingga tidak mungkin untuk menghadirkannya, dan tidak bisa bertindak melaksanakan haknya sebagai wali nikah. Dalam kejadian seperti ini, hak walinya tidak beralih kepada paman sebagai wali sesudahnya, akan tetapi yang bertindak menjadi wali adalah pemerintah atau wali hakim. Alasan lain yang menjadikan wali hakim bertindak sebagai wali nikah sekalipun wali masih ada, adalah jika wali yang terdekat (akrab) sedang ihram, atau tidak mau menjadi wali atau enggan untuk menikahkan atau wali itu sendiri yang hendak  menikahi perempuan tersebut.

Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa wali hakim dalam fungsinya sebagai wali nikah adalah menggantikan wali nasab. Artinya selama wali nasab tidak  mempunyai halangan atau tidak kehilangan haknya sebagai wali nikah, wali hakim tidak boleh dan tidak berhak menikahkan atau menjadi wali nikah. Kewenangan wali hakim sebagai wali nikah merupakan kewenangan dari fikih munakahat yang diberikan kepada Pemimpin atau Kepala Negara yang berfungsi sebagai pengganti wali nasab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh hukum.

Fikih munakahat adalah rujukan dalam ketentuan KHI. Pernikahan yang dilaksanakan dengan wali hakim dipandang sah oleh KHI, sepanjang perpindahan hak wali nasab ke wali hakim tersebut sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KHI. Maka pandangan fiqih munakahat tentang peralihan hak perwalian dalam pernikahan dari wali nasab ke wali hakim merupakan ketentuan hukum darurat, atau dengan kata lain berfungsinya wali hakim sebagai wali nikah dipandang sebagai hukum darurat. Jika demikian pandangan fiqih munakahat, maka demikian pulalah pandangan KHI, sebab apa yang dipandang sah oleh fiqih munakahat tentang wali hakim maka pandangan sah juga oleh KHI.

Dengan demikian kedudukan wali hakim berdasarkan Undang undang perkawinan adalah sebagai pelaksana ijab dalam akad nikah, dan merupakan pengganti wali nasab atau wali aqrab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali nikah disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh fikih munakahat. Seperti halangan halangan internal atau bersifat pribadi dari wali tersebut, karena wali tersebut adhal (enggan dan menolak untuk menikahkan mempelai wanita). Ataupun karena halangan eksternal dari wali tersebut disebabkan mafqud (tidak diketahui keberadaannya), atau dikarenakan sakit, wafat, jauh dari lokasi pernikahan, atau belum memenuhi syarat syarat wali yang telah ditetapkan dalam fikih munakahat dan KHI, seperti belum baligh, atau dikarenakan wali tersebut gila.

Kemudian Dalam Pasal 20 menerangkan syarat seorang wali nikah. Artinya setelah adanya wali dalam pernikahan, tidak semata mata langsung menjadi wali tetapi masih ada syarat yang diperlukan dalam seseorang menjadi wali pernikahan tersebut. Yaitu beragam islam, sehat akalnya, dan dewasa. Sebagaimana  bunyi pasalnya yang menerangkan syarat wali tersebut yaitu :

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari:

  1. Wali nasab;
  2. Wali hakim.[12]

Dalam ayat 2 pasal 20 diatas menyebutkan bahwa wali terbagi menjadi dua macam pertama wali nasab. Sebagaimana akan diterangkan dalam pasal selanjutnya. Pasal 21 berbunyi:

  1. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

  1. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.
  2. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.
  3. Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.[13]

Pasal 21 diatas menerangkan siapa saja wali nasab yang berhak menjadi wali nikah, dalam ayat 1 disebutkan secara global bahwa kewenangan wali nasab pertama di tangan kerabat laki laki dan garis lurus keatas. Lalu diiringi dengan kerabat saudara kandung atau saudara seayah dan garis keturunan mereka, kemudian kerabat paman atau saudara ayah kandung dan saudara ayah seayah dilanjutkan dengan keturunan mereka. Yang terakhir dari wali nasab adalah paman ayah kandung atau saudara kandung kakek atau saudara seayah kakek dan garis keturunan mereka.

Pasal 12 ayat (3) diatas dari huruf (a) sampai dengan huruf (c) adalah penjelasan dari kelompok pertama dari pasal 21 KHI diatas. Artinya bapak kakek dan buyut adalah kelompok kekerabatan garis lurus keatas. Kemudian dalam huruf (d) sampai huruf (g) adalah garis kekerabatan kesamping dan merupakan garis lurus ke samping. Sementara dari huruf (h) sampai dengan huruf (m) adalah garis kekerabatan saudara ayah kandung dan saudara ayah seayah serta garis keturunan mereka. Terakhir dari huruf (n) sampai dengan huruf (q) adalah garis kekerabatan saudara kakek kandung dan kekerabatan saudara kakek seayah dan garis keturunan mereka.

  1. Wali Hakim

Kedua, adalah wali hakim. Sebelum masuk kepada tugas wali hakim yaitu pasal selanjutnya pasal 23 KHI, harus diketahui terlebih dahulu siapa wali hakim tersebut. Dalam KHI pasal 1 huruf (b) disebutkan:

Wali hakim adalah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah.[14]

Adapun   mengenai   penunjukan   dan   kedudukan   wali   hakim terdapat dalam pasal 3 PMA nomor 30 tahun 2005 yaitu yang berbunyi:

  1. Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan (KUA) dalam wilayah kecamatan yang  bersangkutan  ditunjuk  menjadi  wali  hakim untuk menikahkan mempelai wanita sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 2 ayat (1) peraturan ini
  2. Apabila Kepala Kecamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhalangan atau, maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten / kota diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk salah satu penghulu pada Kecamatan tersebut atau terdekat untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.
  3. Bagi daerah terpencil atau sulit dijangkau oleh transportasi,maka Kepala Seksi yang membidangi tugas Urusan Agama Islam atas nama Kepala Departemen Agama Kabupaten/Kota diberi kuasa atas nama Menteri Agama menunjuk pembantu penghulu pada kecamatan tersebut untuk sementara menjadi wali hakim pada wilayahnya.[15]

Berdasarkan pasal di atas yang bertindak sebagai wali hakim adalah kepala KUA yang mewilayahi kecamatannya. Apabila kepala KUA tersebut berhalangan maka Kepala Seksi Bimbingan Masyarakat Islam (kasi bimas) atas nama kepala kantor kementerian agama Kabupaten /kota dan atas nama Menteri Agama menyuruh salah satu penghulu pada kecamatan tersebut untuk bertindak sebagai wali hakim. Jika dalam kecamatan tersebut tidak ada penghulu selain kepala KUA nya maka penghulu kecamatan terdekat dengan kecamatan tersebut ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayah kecamatan tersebut. Dalam ayat (3) nya diterangkan lagi untuk wilayah terpencil yang sulit dijangkau transportasi kasi bimas menunjuk pembantu penghulu menjadi wali hakim. Artinya keberadaan wali hakim yang berhalangan masih bisa digantikan oleh penghulu dan pembantu penghulu.

Dengan demikian kedudukan wali hakim berdasarkan Undang undang perkawinan adalah sebagai pelaksana ijab akad nikah, dan merupakan pengganti wali nasab yang tidak dapat melaksanakan tugasnya sebagai wali disebabkan oleh halangan halangan yang dibenarkan oleh fikih munakahat dan KHI. Maka dapat dipahami bahwa wali hakim mempunyai wewenang menikahkan perempuan demi hukum dan bukan sebagai wakil.

  1. Sebab Sebab Wali Hakim

Ada beberapa alasan yang menyebabkan wali hakim dapat menjalankan fungsinya sebagai wali nikah. Keadaan yang menyebabkan berpindahnya hak perwalian ke tangan wali hakim yang oleh hukum dan peraturan perundang undangan membenarkannya. Dalam KHI pasal 23 ayat (1) dituliskan:

“Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau ghaib atau adhal atau enggan”.[16]

Lebih rinci penetapan Wali Hakim diatur dalam Bab II pasal 2, ayat 1 PMA 30 tahun 2005 tentang penetapan wali hakim. Aturan tersebut berbunyi sebagai berikut:

Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/ di luar wilayah teritorial Indonesia, tidak mempunyai wali nasab yang berhak atau wali nasabnya tidak memenuhi syarat, atau mafqud, atau berhalangan, atau adhal, maka pernikahannya dilangsungkan oleh wali hakim,[17]

Sejalan dengan rincian dalam pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005 di atas, dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (2) berbunyi :

Wali hakim sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) dapat bertindak sebagai wali, jika:

  • . wali nasab tidak ada;
  1. walinya adhal;
  2. walinya tidak diketahui keberadaannya;
  3. walinya  tidak  dapat  dihadirkan/ditemui  karena dipenjara;
  4. wali nasab tidak ada yang beragama Islam;
  5. walinya dalam keadaan berihram; dan
  6. wali yang menikahi wanita tersebut. [18]

Dari pasal 23 KHI dan pasal 2 ayat 1  PMA 30 tahun 2005 serta pasal 13 ayat 3 PMA 20 tahun 2019, dapat dipahami bahwa Beralihnya Hak Perwalian nasab  kepada perwalian hakim ditentukan apabila adanya alasan alasan, sebagai berikut :

  1. Wali Nasab Tidak Ada

Dalam keadaan wali nasab tidak ada mempunyai dua makna, pertama, wali nasabnya sudah tidak ada dalam arti semua wali nasabnya dari yang disebutkan dalam KHI pasal 21, atau pasal 12 ayat (3) PMA 20 tahun 2019 sudah meninggal semua. Jika salah satu dari wali nasab yang tersebut dalam pasal 21 KHI dan PMA tahun 2019 pasal 3 ayat (3) diatas masih ada yang hidup maka wali hakim belum berhak sebagai wali nikah.

Kedua wali nasabnya tidak ada. Maksudnya pengantin perempuan tersebut adalah anak hasil di luar nikah atau anak tidak sah, yang secara hukum tidak mempunyai wali. Menurut pasal 43 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 menetapkan bahwa anak yang dilahirkan di luar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Dalam KHI pasal 100 ter maktub:

“Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”[19]

KHI dalam hal ini lebih menegaskan bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, anak tersebut hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Karena tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah biologisnya, maka anak tersebut tidak memiliki seorang wali nasab pun, sebab barisan wali nasab adalah dari garis ayah. Oleh sebab itu, wali nikahnya adalah wali hakim.

  1. Wali Nasab Enggan atau Adhlal

Enggan atau Adhal artinya menolak. Dalam hal wali nasabnya menolak sebagai wali nikah dikarenakan tidak setuju kepada calon menantunya, atau alasan lain sehingga wali hakimlah yang menjadi wali nikahnya. Dalam kasus wali adhal ini ditegaskan dalam KHI pasal 23 ayat (2) dengan bunyi :

“ Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut “.[20]

Dipertegas petunjuk teknisnya oleh PMA 30 tahun 2005 tentang wali hakim dalam pasal 2 ayat (2)

“Khusus untuk menyatakan adhalnya wali sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan pengadilan agama / mahkamah syariah yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita”. [21]

Dan juga dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (4)

”Wali adhal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (b) ditetapkan oleh Pengadilan Agama atau Mahkamah Syar’iyah.[22]

Untuk menjaga keseragaman dalam penentuan wali hakim dalam hal keengganan wali, maka yang ditempuh pemerintah adalah dengan menyatakan adanya keputusan dari Pengadilan Agama. Dalam fikih munakahat para ulama berbeda pendapat dalam menentukan wali dalam hal ke-adhal-an ini, serta mempunyai syarat syarat masing masing.

Dalam pelaksanaan wali hakim dengan adhalnya wali nasab, pihak KUA masih meminta kembali kepada wali nasabnya untuk menikahkan mempelai tersebut walaupun sudah ada penetapan wali adhal, keadaan ini dimaktubkan dalam Bab IV akad nikah pasal 5 PMA nomor 30 tahun 2005 dengan bunyi :

”Sebelum akad nikah dilangsungkan wali hakim meminta kembali kepada wali nasabnya untuk menikahkan calon mempelai wanita, sekalipun sudah ada penetapan Pengadilan Agama tentang adhalnya wali. (2) Apabila wali nasabnya tetap adhal, maka akad nikah dilangsungkan dengan wali hakim. (Pasal 5).[23]

Dalam hal wali enggan untuk menjadi wali nikah, maka kepala KUA Kecamatan selaku wali hakim, terlebih dahulu harus meminta wali nasab untuk menikahkan, sekalipun telah ada putusan Pengadilan Agama tentang adhalnya wali. Artinya hukum islam dalam hal ini KHI masih menjaga keharmonisan atau hubungan baik antara orang tua dan anak (penganten), karena penganten tersebut juga akan menjadi orang tua. kalau wali nasabnya mau menikahkan anaknya tersebut maka batallah putusan wali adhal yang keluarkan oleh pengadilan agama tersebut

  1. Wali Nasab Mafqud

Mafqud artinya hilang, wali nasabnya hilang, tidak ada kabar beritanya, sehingga tidak diketahui tempat tinggalnya dan tidak diketahui juga apakah ia masih hidup atau sudah meninggal. Maka wali dari seorang wanita yang hilang wali nasabnya adalah wali hakim atau walinya mafqud karena bersembunyi.

Bersembunyi berbeda dengan tidak ada kabar beritanya.. Sebelum ada kehendak untuk menikah dari wanita tersebut, wali masih diketahui keberadaanya, tetapi saat wanita tersebut menikah, tiba tiba wali tidak bisa dihubungi dan dicari ke tempat tinggalnya selama ini ia tidak ada. Atau selama ini keberadaanya diketahui setelah anaknya mendaftarkan nikah, ia tidak bisa dihubungi lagi dan didatangi ke alamatnya ia tidak ditemukan. Maka dalam keadaan seperti ini tindakan yang dilakukan oleh pihak KUA adalah meminta calon pengantin wanita membuat pernyataan tentang hilangnya wali yang bermaterai dengan dua orang saksi dan diketahui kepala desa atau lurah. Dalam hal ini pasal PMA 20 tahun 2019 pasal 13 ayat (5) berbunyi

(5) Wali tidak diketahui keberadaannya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf (c) didasarkan atas surat pernyataan bermaterai dari calon pengantin, disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi, dan diketahui oleh Kepala Desa/Lurah setempat.[24]

  1. Walinya Tidak Dapat Dihadirkan

Wali tidak dapat dihadirkan dikarenakan walinya tersebut dalam penjara, tahanan sehingga tidak diizinkan untuk keluar dan menjadi wali nikah, oleh karena itu yang menjadi wali nikah adalah wali hakim. Dalam PMA 20 tahun 2019 pasal 13 ayat (6) tertulis:

Wali tidak dapat dihadirkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf d karena yang bersangkutan sedang berada dalam tahanan dengan bukti surat keterangan dari instansi berwenang.[25]

Atau walinya sakit gila umpanya yang tidak mungkin menghadirkannya, apabila wali dihadirkan saat prosesi akad nikah maka akan menambah keruh suasana prosesi akad nikah tersebut.

  1. Walinya Tidak Ada Yang Beragama Islam

Dalam hal walinya harus beragama islam adalah suatu kemestian dalam pernikahan yang dilaksanakan dengan aturan agama islam. Beragama islam merupakan salah satu syarat sahnya seseorang menjadi wali nikah. Walaupun semua walinya masih hidup tetapi tidak ada yang beragama islam maka wali hakimlah yang menjadi walinya. Dalam KHI pasal 20 ayat (1)

”Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.[26]

Dan PMA 20 tahun 2019 pasal 12 tertera

2)  Syarat wali nasab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

  1. laki-laki;
  2. beragama Islam;
  3. baligh;
  4. berakal; dan
  5. [27]

Dari dua bunyi pasal diatas dapat diketahui bahwa syarat seorang menjadi wali nikah harus beragama islam. Jadi kalau walinya tidak beragama islam bertentangan dengan definisi wali nasab PMA nomor 30 tahun 2005 tentang wali hakim pasal 1 ayat (1) yang berbunyi

“Wali nasab adalah pria yang beragama islam yang mempunyai hubungan darah dengan calon mempelai wanita dari pihak ayah menurut hukum islam “ [28]

  1. Walinya Sedang Ihram

Seorang wali nasab yang sedang melaksanakan ihram tidak boleh bertindak sebagai wali nikah. Apabila seorang perempuan ingin menikah sementara wali nasab yang berhak menikahkannya sedang ihram maka dalam pelaksanaan akad nikahnya yang menjadi wali nikah adalah wali hakim. Pasal 54 KHI ter maktub

(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga boleh bertindak sebagai wali nikah.

(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.[29]

Dan dalam hadits Rasulullah SAW. disebutkan:

 

سَمِعْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلَا يُنْكَحُ وَلَا يَخْطُبُ

Saya pernah mendengar Utsman bin Affan berkata; Rasulullah SAW. bersabda: “Orang yang sedang berihram tidak diperbolehkan untuk menikahkan, dinikahkan dan meminang.”[30]

Dalam hadits diatas bukan hanya menjadi wali nikah yang dilarang, bahkan menikah dan meminang juga dilarang.

  1. Walinya Yang Akan Menikahi Wanita Tersebut

Wali nasabnya yang menjadi pengantin laki lakinya, artinya adalah wali nasab yang berhak menjadi wali akan menikahi wanita tersebut. Keadaan wali nasab ini tentunya wali nikah yang bukan dari golongan mahram, karena dalam wali nikah ada golongan mahram dan ada juga bukan muhrim. Wali dari golongan mahram adalah wali yang tidak boleh menikahi wanita tersebut. Wali muhrim adalah ayah, kakek, saudara seayah seibu, saudara seayah, paman.

Adapun wali bukan muhrim maka sah menikahi wanita tersebut. Misalnya seorang wanita yang akan dinikahi oleh sepupunya (anak pamannya) sementara wali nasab akrab sebelum laki laki tersebut sudah tidak ada atau meninggal semua. Maka wali nikah dari perempuan tersebut adalah wali hakim karena yang berhak menjadi walinya adalah penganten laki lakinya.

  1. Wali Nikah Palsu

Wali nikah sebagaimana diterangkan di atas adalah orang yang memegang sah tidaknya pernikahan. Oleh karena itu tidak sah pernikahan tanpa adanya wali. Sementara palsu dalam kamus besar bahasa indonesia adalah tidak tulen, tidak asli, tidak sah, gadungan.[31] Wali nikah jika dihubungkan dengan kata palsu berarti wali nikah yang tidak asli, wali nikah tidak sah, sedangkan pernikahan yang dilaksanakan dengan wali nikah yang bukan asli maka pernikahan tersebut tidak sah karena wali nikah yang asli adalah wali nasab atau wali hakim.

Pencatatan pernikahan dengan wali nikah palsu terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru Kabupaten Lampung Timur. Calon pengantin yang bernama Abdul Rozak bin Arsad dan Fani Sania Gultom bin Managam Gultom yang didaftarkan tanggal 30 Maret 2021 dengan nomor pendaftaran 092/80716/2021 dan nomor pemeriksaan 0079/01/2021.

Calon pengantin ini dan didampingi orang tua calon pengantin perempuan serta pak kadus datang ke KUA kecamatan Mataram Baru mendaftarkan pernikahannya dengan berkas surat pengantar nikah ,N1 dari calon suami ditandatangan oleh Kepala Desa Sribhawono Kecamatan Bandar Sribhawono tertanggal 26 maret 2021. dan surat pengantar nikah, N1 dari calon istri tertanggal 30 maret 2021 tertandatangan kepala desa Mataram Baru.

Berkas N2, permohonan kehendak nikah yang ditandatangani pemohon Fani Sania Gultom, persetujuan calon pengantin, N4 yang ditandatangani kedua calon mempelai atas nama Abdul Rozak dan Fani Sania Gultom, surat izin orang tua, N5 laki laki yang ditanda tangani ibu Sutihat, surat pernyataan status di tanda tangan calon suami dan diketahui kepala desa Sribhawono. Dan juga surat pernyataan status dari calon istri yang ditandatangani Fani Sania Gultom dan diketahui kepala desa Mataram Baru.

Surat pernyataan kehilangan wali di atas materai di tanda tangan Fani Sania Gultom juga diketahui kepala desa, dengan saksi dua orang Managam Gultom dan Anderson, foto copy Kartu Tanda Penduduk, dan Foto copy Kartu Keluarga dari kedua mempelai, rekomendasi dari KUA Kecamatan Bandar Sribhawono karena pengantin laki laki ini dari luar wilayah Kecamatan Mataram Baru.

Setelah dilakukan pendaftaran nikah, saat pemeriksaan berkas calon mempelai perempuan mengatakan bahwa bapak Managam Gultom sebagaimana yang tertulis dalam N1, KK, dan akta kelahiran ijazah, bukan ayah kandungnya tetapi ayah tirinya. ”yang akan menjadi wali nikah saya, siapa nanti ya pak?” tanya Fani Sania Gultom menanyakan siapa yang berhak menjadi wali dalam pernikahannya nantinya, ”Karena ayah kandung saya tidak diketahui dimana berada, ayah saya pergi sudah lama dan sampai sekarang tidak diketahui dimana.” lanjutnya.[32]

Dengan pengakuannya ini, saran bapak kepala KUA, dibuatkan surat pernyataan diatas materai tentang keberadaan bapak dari fani Sania Gultom yang tidak diketahui kabarnya, yang ditandatangan dua orang saksi dan diketahui kepala desa ”jika walinya tidak ada, maka dibuat permohonan wali hakim” kata bapak kepala KUA.[33]

Kemudian permohonan wali hakim dibuat calon istri, Fani Sania Gultom kepada bapak kepala KUA untuk menikahkannya dengan Abdul Rozak dengan wali hakim. Pernikahan Fani Sania Gultom dengan Abdul Rozak dilaksanakan pada hari kamis tanggal 8 april 2021 dengan wali hakim karena wali nasabnya mafqudh atau hilang, tetapi dicatatkan dengan wali nasab ayah kandung sebagaimana yang tertulis dalam N1 yang disaksikan oleh dua orang saksi Dedi Irwandi dan Syahril Sidik dengan mahar atau maskawin uang seratus ribu rupiah dengan nomor akta nikah 068/06/IV/2021 dan seri buku nikah LA 100380170.

  1. Analisis Tentang Wali Nikah Palsu

Uraian pernikahan dengan wali hakim dan dicatatkan dengan wali nasab diatas maka dapat peneliti simpulkan sebagai berikut

  1. Sesuai UU nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1.

Peristiwa pernikahan dengan wali hakim seperti kasus diatas sesuai dengan Undang undang nomor 1 tahun 1974 tentang pernikahan khususnya pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing masing agamanya dan kepercayaannya itu.[34]

Pasal 2 ayat (1) ini melegalisasi hukum agama untuk pelaksanaan pernikahan, Sedangkan untuk masyarakat yang beragama Islam di Indonesia hukum agama dalam pelaksanaan pernikahan adalah KHI. Syarat yang tertulis dalam KHI sebagai syarat nikah adalah adanya calon suami, calon istri, wali nikah, dua saksi dan ijab qobul,

Wali nikah dalam hal ini hilang atau tidak diketahui keberadaannya maka wali hakimlah yang akan menjadi wali dalam pernikahannya. Calon istri yang tidak mempunyai wali nasab, wali hakim lah yang akan menjadi walinya. Sebagaimana yang tertulis dalam KHI pasal 23 ayat (1) dan diterangkan dalam pasal 2 ayat 1 PMA 30 tahun 2005, serta dalam PMA 20 tahun 2019 tentang pencatatan pernikahan pasal 13 ayat (2). Pernikahan diatas dilaksanakan dengan wali hakim karena wali nasab ayah kandung tidak diketahui keberadaannya atau hilang dengan pengakuan pengantin wanita dan surat pernyataan dari calon istri yang diketahui oleh kepala desa

  1. Tidak sesuai UU nomor 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 2.

Peristiwa pernikahan dengan wali hakim tetapi dicatatkan dengan wali nasab  yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru tidak sesuai dengan pasal 2 ayat (2) yang berbunyi:

(2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[35]

Pencatatan pernikahan merupakan salah satu prinsip hukum perkawinan nasional yang bersumber pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 adalah lanjutan dari pasal 1, kata ”dicatat menurut  peraturan perundang undangan yang berlaku”, maka dicatat dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam pasal 1.

Undang Undang fungsinya adalah mengontrol syarat nikah secara hukum agama juga mengontrol syarat nikah secara hukum administrasi atau undang undang. Kenyataan yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru tidak terpenuhi dengan ketentuan undang undang pernikahan pasal 2 ayat 2. Karena pernikahan mempelai di atas, hukum agama terpenuhi tetapi hukum administrasi, legalitas formal tidak terpenuhi. Bukti hukum yang direkam dalam sebuah pencatatan pernikahan yang sah tidak sesuai dengan peristiwa hukum yang terjadi. Dalam prakteknya, kewajiban pencatatan yang dituangkan dalam pembuatan akta nikah berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya terjadi.

  1. Solusi Terhadap Wali Nikah Palsu

Pernikahan dengan wali hakim dan dicatatkan dengan wali nasab ayah kandung sebagaimana yang tertulis dalam surat kehendak nikah (N1), akta lahir kk, dan ijazah, yang sesungguhnya bukan wali nasab calon istri dari pengakuannya.

Nasab adalah pertalian kekeluargaan berdasarkan hubungan darah melalui akad nikah yang sah. Untuk dapat menghubungkan nasab seorang anak kepada ayahnya dibutuhkan dua syarat, yaitu hubungan darah dan akad nikah yang sah.  Bila hanya terdapat satu syarat, baik hubungan darah seperti hamil diluar pernikahan maupun akad nikah saja seperti istri yang dihamili orang lain maka nasab pun tidak dapat dihubungkan antara seorang ayah dengan anak.

Pernikahan yang terjadi dari pengantin diatas dapat dilihat bahwa orang yang tertulis dalam KK dan Akta kelahiran calon istri bukan wali nasabnya karena tidak memenuhi dari dua syarat dari syarat hubungan nasab, hal ini diketahui dari pengakuan pengantin wanita, maka KUA melaksanakannya dengan wali hakim sebagai wali yang sah dalam pernikahannya. Dengan solusi menuliskan wali orang yang tertera dalam akta kelahiran dan kk adalah :

  1. Mendahulukan Syariah (Syariah oriented)

KUA Kecamatan Mataram baru mencatat akta nikah dan buku nikah berbeda dengan apa yang dilaksanakan bukan berarti tidak punya alasan. Seluruh persyaratan pokok pernikahan dan data kependudukan tertulis ayah tiri. Dalam perspektif yuridis formal (yang tertulis dalam N1 kk dan akta lahir), apa yang dilakukan kepala KUA tersebut adalah tindakan illegal walaupun akad nikah nya sudah legal. Jika dilaksanakan secara yuridis formal  maka pernikahan pengantin diatas tidak sah, karena posisi orang yang menjadi ayah dalam dokumen yang sudah ada bukan wali nasab. Pernikahan dengan wali orang lain yang tidak ada kaitan nasabnya dengan calon istri adalah pernikahan batal atau tidak sah.

Pasangan pengantin ini akan berdosa jika yang dilanggar adalah ketentuan agamanya. Dengan keterusterangan mereka kepada pihak KUA bahwa apa yang tertulis dalam akta lahir dan lainnya adalah ayah tiri (palsu), bahkan kepala desa juga menandatangani pengakuan mereka tersebut, ini menunjukkan bahwa ketaatan beragama mereka lebih tinggi dari pada kepatuhan terhadap undang undang. Kaidah mengatakan ’ma tsabata bisy syar’i muqoddamun ’ala ma wajaba bisy syarthi, “Sesuatu yang ditetapkan syara’ harus didahulukan dari pada sesuatu yang diwajibkan syarat.

  1. Menghindari Mafsadah Yang Lebih Besar

Jika dituliskan dengan wali hakim sebagaimana peristiwa pernikahan sebenarnya maka akan menyulitkan pengurusan administrasi yang lain bagi calon istri karena dalam akta lahir dan KK ayahnya ada di tempat akad nikah, tidak hilang. Karena  dalam surat pernyataan wali hilang dari calon istri dan surat keterangan kepala desa adalah orang yang berbeda dengan orang yang ada dalam akta kelahiran. Maka tidak ada alasan untuk menuliskannya dengan wali hakim.

Jika surat keterangan kehilangan wali yang dibuat oleh calon istri menerangkan yang hilang atau tidak diketahui keberadaannya tersebut adalah orang yang sama dalam akta kelahiran maka, pencatatan akad nikah dituliskan dengan wali hakim, dan tidak ada alasan untuk mencatanya dengan wali nasab, karena sudah memenuhi syarat berpindahnya wali nasab ke wali hakim yaitu hilang atau mafquth. Alasan lain adalah menjaga amarah ayah tiri dari salah satu calon istri. ” saya ini dianggap apa kalau ditulisakan wali hakim dalam buku nikahnya ”[36] kata kepala KUA Mataram Baru dengan nada emosi menirukan perkataan Managam Gultom saat bertemu dengan kepala KUA Mataram Baru.

Seharusnya N1, KK, dan Akta lahir yang tertulis adalah ayah kandungnya, tetapi penulisan ayah kandung dalam berkas kehendak nikah, tidak bisa dituliskan karena mengikuti akta kelahiran dan kk ayah tirinya.  Jika yang tertulis dalam akta kelahiran dan kk ayah kandung, tentu dalam surat pengantar nikah pun akan dituliskan ayah kandungnya, dan akan sesuai dengan surat keterangan wali ghaib dan surat keterangan kepala desa, maka bisa ditulis dalam akta nikah wali hakim.

Menurut peneliti  kemudharatan yang diterima akan lebih besar buat pengantin tersebut jika dituliskan dengan wali hakim dari pada dituliskan dengan wali yang tercantum dalam akta kelahiran dan KK. Semua administrasi calon istri tersebut tidak akan sesuai dengan akta nikahnya.

Untuk menyesuaikan berkas administrasi calon istri butuh waktu dan alasan yang tepat ke catatan sipil dan ke sekolah tempat dikeluarkannya ijazahnya (mafsadah besar) dari pada menuliskannya dengan apa yang tertera dalam akta kelahiran dan KK. Kaidah fikih berbunyi ”Iza ta’arodo mafsadatani ru’iya a’zhohuma dhororon birtikabi akhoffihima,  Apabila ada dua mafsadat maka yang dipilih adalah mafsadat yang paling ringan.

 

  1. Kesimpulan

Pernikahan dengan wali hakim yang terjadi di KUA Kecamatan Mataram Baru dan dicatatkan dengan wali nikah yang tertulis dalam surat pengantar kehendak nikah (N1), akta kelahiran Kartu keluarga (KK),  ijazah yang notabene bukan wali nasab adalah sesuai dengan pasal 2 ayat 1 dan tidak sesuai dengan ayat 2 tetapi dicatatkan oleh KUA Kecamatan Mataram Baru dengan alasan

  1. Mendahulukan Syariah (Syariah oriented)
  2. Menghindari Kerugian, Mafsadah Yang Lebih Besar

[1] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

 

[2] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan.

 

[3] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009)

[4] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

 

[5] .  I Nyoman Sujana, Kedudukan Hukum Anak Luar Kawin dalam Perspektif Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, (Yogyakarta, Aswaja Pressindo, 2015), h 107.

[6] .UndangUndang No. 1 Tahun 1974 pasal 2, dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974 Pasal 2, 11 s.d 1,3 dan  Kompilasi Hukum Islam. jo Pasal 5 s.d 7.

[7] .  I Nyoman Sujana, Kedudukan Hukum, h. 97.

[8] . Eka Widiasmara, ‘Kedudukan Perkawinan dan Perceraian di Bawah Tangan Ditinjau Dari Hukum Islam dan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku di Indonesia’, Tesis S2 (Semarang: Universitas Diponegoro, 2010), h. 71

 

[9] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[10]. At-Tirmidzi (no. 1101) kitab an-Nikaah, Abu Dawud (no. 2085) kitab an-Nikaah, Ibnu Majah (no. 1881) kitab an-Nikaah, Ahmad (no. 19024) al-Hakim (I/170) dan ia menshahihkannya, serta dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiih at-Tirmidzi (no. 879), dan lihat al-Irwaa’ (VI/235)

[11] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

 

[12] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[13] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[14] .Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[15] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim.

 

[16] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[17] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim.

[18] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan.

[19] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[20] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[21] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim.

[22] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan

[23] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim.

 

[24] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan.

[25] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan.

[26] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[27] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 20 tahun 2019, tentang Pencatatan Pernikahan.

[28] . Peraturan Menteri Agama (PMA) nomor 30 tahun 2005, tentang Wali Hakim.

[29] . Tim Redaksi Nuansa Aulia, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Nuansa Aulia, 2009).

[30] . Muslim Bin Alhujjaj Al Qusoiri, Shohih Muslim (Dar Ihya Kutubul Arobiyah), juz. II, h, 1409 no. 1030

[31] . https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/palsu di unduh tanggal 13 november 2022 jam 10.00

[32] . wawancara dengan vina efri liandari (pramubakti  KUA kecamatan Mataram Baru ) tanggal 10 januari 2021

[33] . wawancara dengan Kepala KUA kecamatan Mataram Baru tanggal 10 januari 2021

[34] . Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

[35] . Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan

[36] . wawancara dengan kepala KUA kecamatan Mataram Baru tanggal 10 januari 2021

 

Artikel ini telah dibaca 0 kali

syafran lubis badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Perkawinan Anak dan Stunting di Sulawesi Barat dalam Persfektif Maqasid Al Syariah

1 Mei 2025 - 09:41 WIB

Wali Nikah Ab’ad Part 4

22 Februari 2025 - 23:02 WIB

Menikahi Wanita Hamil Karena Zina dalam Perspektif Hukum Islam

8 Februari 2025 - 23:01 WIB

WALI NIKAH AB’AD PART 3

11 Desember 2024 - 09:58 WIB

WALI NIKAH AB’AD PART 2

2 Desember 2024 - 11:02 WIB

Wali Nikah Palsu Part 3

4 November 2024 - 08:59 WIB

Trending di Karya Ilmiah