Menu

Mode Gelap

Artikel · 7 Mei 2024 14:39 WIB ·

HUKUM KELUARGA DI INDIA DAN PAKISTAN


 HUKUM KELUARGA DI INDIA DAN PAKISTAN Perbesar

HUKUM KELUARGA DI INDIA DAN PAKISTAN

 

 

 

KATA PENGANTAR

 

Assalamu’alaikum Wr.Wb

Segala puji bagi Allah swt Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan pada Rasulullah saw. Berkat  limpahan serta rahmatnya, saya dapat merampungkan tugas  makalah ini. Saya meminta maaf jika di dalam penyusunan tugas   atau   materi ini tidak maksimal. Makalah ini disusun supaya pembaca bisa memperluas pengetahuan yang saya sajikan dari beragam sumber informasi, referensi, serta berita. Makalah ini di susun oleh penyusun dengan beragam halangan, baik itu yang datang dari diri penyusun ataupun yang datang dari luar. Tetapi, dengan penuh kesabaran serta terlebih pertolongan dari Allah selanjutnya makalah ini bisa teratasi.

Saya mengucapkan terimakasih kepada Dosen pengampu yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat  menambah  wawasan  dan pengetahuan sesuai dengan jurusan yang saya pelajari. Saya menyadari, makalah yang di tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun, saya nantikan demi kesempurnaan  makalah ini.

Wassalamu’alaikum wr.wb

 

Purwakarta, 07 Mei 2024

Penyusun

 

 

                                                                                          

 

 

 

DAFTAR ISI

 

Kata Pengantar………………………………………………………………………………..…ii

Daftar Isi……………………………………………………………………………………….…i

BAB 1 PENDAHULUAN

A.Latar Belakang…………………………………………………………………………………1

  1. Rumusan Masalah……………………………………………………………………………..1
  2. Tujuan Penulisan………………………………………………………………………………2

BAB II PEMBAHASAN

  1. Hukum keluarga islam di Pakistan ………………………………………………………..3-7
  2. Hukum keluarga islam di India ……………………………………………………………7-9
  3. Reformasi Hukum Keluarga Islam di India……………………………………………..9-10

BAB III PENUTUP

  1. Kesimpulan……………………………………………………………………………………11
  2. Saran………………………………………………………………………………………….11

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………………12

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. Latar Belakang Masalah

Hukum keluarga Islam merupakan aturan yang mengonsep keperdataan umat Islam mengenai pernikahan, kewarisan dan ruang lingkup keluarga adapun dalam istilah Islam disebut sebagai Fiqhul Usrah. Pada abad 20 adanya usaha pembaruan hukum keluarga (perkawinan, perceraian dan warisan) di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim seperti Pakistan 1961.

Islam merupakan agama mayoritas yang dianut oleh penduduk Pakistan. Oleh sebab itu, Negara ini menjadikan Islam sebagai salah satu landasan dalam membuat dan membentuk aturan. Namun, tak lupa bahwa yang kita ketahui dalam sejarah terbentuknya Negara Pakistan merupakan pecahan dari Negara India pada  tahun 1947  kemudian membentuk Negara Republik Pakistan. Sedangkan India merupakan Negara jajahan Inggris ditahun 1839. Sehingga aturan yang dibentuknya pasti ada campur tangan pemikiran dalam membentuk, membuat dan merancang UU di Pakistan.

Adapun di India Islam menjadi kaum minoritas, namun jumlah tersebut menempatkan Muslim India  terbanyak kedua di dunia setelah Muslim Indonesia. Jauh sebelum Inggris menjajah India, masyarakatnya telah diberikan kebebasan penuh oleh penguasa untuk mengikuti agama dan kepercayaan mereka masing-masing. Untuk itu dalam makalah ini akan di bahas mengenai Hukum Keluarga di Negara Pakistan dan India beserta penerapan dan pelaksanaannya.

 

  1. Rumusan Masalah
  2. Bagaimana sejarah hukum keluarga islam Pakistan ?
  3. Bagaimana hukum keluarga islam di india?
  4. Bagaimana Reformasi Hukum Keluarga Islam di India?

 

 

  1. Tujuan Masalah
  2. Untuk dapat mengetahui hukum keluarga islam di Pakistan
  3. Untuk dapat mengetahui hukum keluarga islam di India
  4. Untuk dapat mengetahui Reformasi hukum islam di India

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

   PEMBAHASAN

 

  1. Hukum keluarga islam Pakistan

Sejarah Hukum Keluarga di Pakistan Sejarah hukum di Pakistan hingga 14 Agustus 1947 berbagi dengan India. Pada saat pembentukan negara ini pada tanggal tersebut, ia mewarisi dari negara induknya India. Untuk lebih jelasnya tentang sejarah terbentuknya UU Hukum Keluarga di Pakistan, seperti berikut ini.

  1. UU Penghapusan Ketidakcakapan Hukum Kasta Sosial Tahun 1850;
  2. UU Perceraian tahun 1869 dan UU Perkawinan Kristen Tahun 1872;
  3. UU Orang Dewasa Tahun 1875;
  4. UU Perwalian dan Orang yang di Bawah Perwalian Tahun 1890;
  5. UU Validasi Wakaf Tahun 1913-1930;
  6. UU Wakaf tahun 1923 (diamandemen di Propinsi Sind oleh UU lokal, yakni UU No.18/1935);
  7. UU Pencegahan Perkawinan Anak Kecil tahun 1929;
  8. UU Hukum Keluarga Islam (Syariah) Tahun 1937; dan 9. UU Perceraian Islam Tahun 1939.

Pada tahun 1961, Komisi Nasional negara Pakistan merekomendasikan beragam masalah keluarga bagi penyempurnaan UU Hukum Keluarga yang ada. Atas dasar rekomendasi yang dibuat Komisi tersebut, suatu ordinansi yang dikenal sebagai Ordinansi Hukum Keluarga Islam disahkan pada tahun 1961.

Konstitusi pertama Republik Islam Pakistan yang diresmikan pada tahun 1956 menetapkan bahwa tidak satu pun UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam akan diberlakukan, dan UU yang demikian harus ditinjau ulang dan direvisi agar sejalan dengan ajaran-ajaran dasar Islam. Akan tetapi konstitusi ini dicabut pada tahun 1958. Ketika Konstitusi 1956 dicabut, pemerintah Pakistan meresmikan Ordonansi Hukum Keluarga Islam 1961 yang didasarkan pada rekomendasi yang disampaikan dalam laporan Komisi Nasional. Suatu konstitusi baru disahkan di Pakistan pada tahun 1962, yang sekali lagi memberi mandat atau amanat kepada negara untuk tidak memberlakukan UU yang bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar Islam dan konstitusi ini mengakomodasi kembali ajaran-ajaran dasar Islam seperti yang terdapat dalam konstitusi terdahulu. Bidang hukum Islam seperti didefinisikan dalam UU Hukum Keluarga 1961 itu adalah lebih luas dibanding yang ada di bawah UU Syariat 1937. Pada tahun 1964 UU Peradilan keluarga mengamanatkan pembentukan peradilan keluarga di seluruh wilayah Pakistan, yang tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang berkenaan dengan perselisihan keluarga dan perkawinan.

Konstitusi Pakistan yang baru, yang diumumkan pada tahun 1973, menyatakan bahwa semua UU yang ada harus disesuaikan dengan ajaran-ajaran dasar Islam seperti ditetapkan Al- Quran dan Sunnah serta tidak satu pun UU yang diberlakukan bertentangan dengan ajaran- ajaran dasar Islam. Pada 1979 Pemerintah Pakistan memutuskan untuk kembali menegakkan supremasi Syariah dalam semua bidang hukum. Sepanjang 1980-1985, Konsitusi 1973(sejak mengalami sejumlah amandemen) diamandemen kembali, yakni berkenaan dengan perihal norma-norma Syariah. Dalam UU Hukum Keluarga yang berlaku di Pakistan yaitu The Muslim Family Laws Ordinance, kita akan mendapatkan ketentuan-ketentuan penting mengenai intisari dari undang- undang tersebut, berikut penjelasannya:

  1. Usia minimum perkawinan;
  2. Kewajiban pencatatan perkawinan;
  3. Kewajiban memperoleh izin Dewan Arbitrasi bagi pria untuk melakukan poligami;

[1]

  1. Kewajiban melaporkan peristiwa talak kepada pejabat berwenang agar ia dapat segera membentuk Dewan Arbitrasi selaku Dewan Hakam
  2. Ancaman sanksi atas pelanggaran batas maksimal nilai maskawin dan biaya perkawinan serta pelanggaran lainnya;
  3. Kehadiran ahli waris pengganti;
  4. Penyelesaian sengketa keluarga melalui pengadilan keluarga (family court); dan
  5. Pemberlakuan kembali hukum Islam tentang hak pemilikan harta terkait orang murtad

Batas Usia Nikah

Terkait  mengenai Hukum Keluarga di Pakistan dinyatakan perkawinan dapat dilakukan jika laki-laki sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 16 tahun. Hal tersebut termaktub dalam Ordonansi No. 8 Tahun 1961 pasal 4, 5 dan 6 ayat 1. Maka jika terjadi pernikahan antara pria yang berusia diatas 18 tahun terhadap perempuan di bawah usia nikah, dapat dihukum penjara maksimal 1 bulan atau denda maksimal 1000 rupee ataupun keduanya sekaligus. Sanksi yang sama juga akan dijatuhkan kepada pihak yang menyelenggarakan, memerintahkan atau memimpin pernikahan mempelai di bawah umur.

Pencatatan perkawinan

Di Negara Pakistan, akad perkawinan yang tidak dicatatkan pada lembaga yang berwenang, maka akan diancam hukuman penjara paling lama tiga bulan dan berupa denda sebanyak 1000 Rupees. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 5 Muslim Family Law Ordinance Tahun 1961.

Poligami

Terkait poligami, MFLO 1961 mengatur bahwa seorang laki-laki yang masih ter ikat dalam suatu ikatan perkawinan di larang melakukan perkawinan lagi dengan perempuan lain, kecuali setelah mendapat izin isterinya dan izin dari Dewan Arbitasi. Caranya, seorang suami yang hendak kawin lagi dengan perempuan lain melaporkan keinginannya itu kepada Dewan Arbitrasi dilengkapi dengan alasan-alasannya dan dilampiri surat izin isteri serta membayar uang sejumlah tertentu. Segera setelah surat permintaan izin dari pihak suami itu disampaikan kemudian Dewan Arbitrasi meminta nama seorang wakil dari keluarga suami dan seorang wakil dari keluarga isteri untuk duduk sebagai anggota Dewan Arbitrasi. Jika Dewan Arbitrasi kemudian melihat adanya alasan-alasan yang jelas, diperlukan dan adil, sehingga menyetujui usul perkawinan tersebut maka izin pun diberikan. Barang siapa yang melanggar ketentuan tersebut, yakni melakukan akad nikah tanpa izin isteri dan Dewan Arbitrasi, diancam dengan hukuman kewajiban membayar secara sekaligus seluruh hutang mahar yang belum terbayar, dan hukuman penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak 5000 Rupee atau kedua-duanya.

Perceraian

Pengucapan talak oleh suami dapat dilakukan di luar pengadilan,  kemudian suami wajib melaporkannya kepada ketua Dewan Arbitrasi. Adapun pengaturan tentang talâq-i-tafwîd yaitu penyerahan hak menceraikan oleh suami kepada isterinya. Biasanya pendelegasian itu tercatat dalam Buku Nikah atau dalam Perjanjian Perkawinan dengan suatu syarat, misalnya  kalau  suami menikah lagi dengan wanita lain maka secara otomatis isteri berhak mengambil inisiatif perceraian dengan melaporkan dan memintanya kepada Dewan Arbitrase, sebagaimana diatur pada 18 Tahir. Talâq-tafwîd biasanya dibedakan  dua jenis perceraian lainnya yaitu perceraian secara khulu’ (khula) yang terjadi dengan tebusan tertentu oleh isteri yang dalam pelaksanaannya juga masih memerlukan persetujuan suami dan perceraian mubâra’ah dimana perceraian dilakukan karena baik isteri maupun suami memang sama-sama setuju mau bercerai.

Wasiat Wajibah

Terkait sistem kewarisan MFLO Section 4 mengatur tentang bagian warisan bagi cucu yang orang tuanya meninggal terlebih dahulu sebelum meninggalnya kakek atau neneknya. Dalam kitab-kitab fikih klasik hal ini tidak diatur dan dianggap sudah jelas, karena dalam Islam prinsipnya orang yang telah meninggal dunia terlebih dahulu tidak menerima warisan dari orang yang meninggal dunia kemudian. Pada masa lalu, ketika sistem kekeluargaan bersifat extended family (apalagi dalam sistem kesukuan) di mana cucu yatim biasanya menjadi tanggung jawab pamannya maka sistem pembagian waris demikian itu tidak menjadi persoalan. Pada masa modern sekarang di mana sistem kekeluargaan cenderung berbentuk keluarga batih (nuclear family) yang anggota keluarganya hanya terdiri atas ayah, ibu dan anak, maka kematian ayah berarti beban bagi ibu untuk menghidupi anaknya yang yatim itu. Oleh karena itu ketiadaan bagian warisan bagi anak-anak yatim itu atas harta peninggalan nenek atau kakeknya, dapat berakibat terlantarnya si cucu. Itulah sebabnya sejumlah Negara Muslim di Timur Tengah memperkenalkan sistem wasiat wajibah atau disebut obligatory bequeth, yaitu bahwa cucu yatim tersebut akan mendapatkan bagian warisan dalam bentuk wasiat otomatis dari nenek atau kakek sebesar paling banyak sepertiga bagian.

  1. Hukum Keluarga Islam di India

India adalah negara di Asia Selatan yang mempunyai penduduk terbanyak kedua di dunia setelah Tiongkok, empat agama utama dunia yakni Hindu, Budha, Jainisme, dan Sikhisme juga lahir di tanah India. Pemerintah tidak melakukan diskriminasi dan interfensi dalam masalah agama para penduduknya. India menjamin hak-hak warga negaranya dalam menjalankan agama masing-masing. mengenai keluarga dan harta milik (yakni perkawinan, perceraian, pemeliharaan, perwalian, adopsi dan warisan) orang Hindu, Muslim, Parsis, dan Kristen serta orang Yahudi, diatur oleh hukum keagamaan mereka masing-masing.

Kewajiban bagi setiap Muslim untuk menjalankan ketentuan-ketentuan agama Islam dan bertindak sesuai syariat. Meskipun dalam hukum negara India, seorang Muslim diperbolehkan memakai ketentuan yang dibuat pemerintah (yakni yang tertuang dalam The Special Marriage Act 1954), akan tetapi yang harus seorang Muslim jalani adalah sesuai apa yang tertuang dalam Syariat. Persoalan hukum keluarga Muslim di India diatur dalam The Muslim Personal Law (Shariat) Application Act 1937. Undang-undang ini lahir ketika masa pemerintahan India Inggris. Pasal 2 undang-undang tersebut menyatakan bahwa:

Application of personal law to Muslims. Notwithstanding any custom or usage to the contrary, in all questions regarding intestate succession, special property of females including personal property inherited or obtained under contract or gift or any other provision of personal laws, marriage, dissolution of marriage, including talaq, ila, zihar, lian, khula, and mubaraat, maintenance, dower, guardianship, gifts, trusts and trust properties and wakfs (other than charities and charitable institutions and charitable and religious endowments), the rules of decision in cases where the parties are Muslims, shall be the Muslim Personal Law (Shariat).”

Undang-undang tersebut hanya mengesahkan penerapan aturan syariah bagi umat Islam, tanpa mengaturnya lebih jauh. Dalam semua persoalan mengenai warisan, hak milik, perkawinan, perceraian, termasuk talak, ila, zihar, li‟an, khuluk, dan mubara‟ah, pemeliharaan, mahar, perwalian, hibah, pelimpahan properti, dan wakaf dimana para pihaknya adalah Muslim, maka harus menggunakan aturan syariah. Oleh karena itu, aturan hukum keluarga Islam di India berdasarkan dan kembali kepada hukum Islam. Kecuali dalam hal dimana telah dikhususkan pengaturannya dalam hukum positif.

Hukum syariat juga dapat diterapkan pada kasus-kasus dimana hanya salah satu pihak saja yang beragama Islam. Seperti The Dissolution of Muslim Marriages Act 1939 contohnya, undang-undang ini berlaku untuk semua wanita yang “menikah di bawah hukum syariat” dan bukan hanya untuk “wanita Muslim”. Maksudnya, apabila seorang wanita Muslim menikah menurut ketentuan hukum Islam, kemudian dia murtad lalu ingin bercerai dari suaminya maka yang harus digunakan dalam kasus ini ialah hukum Islam sebagai hukum awal ia melakukan perkawinan. Ketentuan syariat juga berlaku dalam perkara kewarisan non-Muslim. Jadi, ketentuan tersebut juga berlaku bagi mereka yang menundukkan dirinya terhadap hukum syariat. Dalam The Shariat Application Act, “Muslim personal law” dan “Syariat” merupakan dua hal yang sama. Syariat adalah ketentuan yang  luas, yang di dalamnya juga mengatur mengenai hukum pribadi  atau di India disebut dengan “Personal Law‟ yang dalam bahasa Arab disebut dengan qȃnun al-ahwal al-syakhsiyyah. Maka berdasarkan Undang-Undang Tahun 1937 tersebut, ungkapan “hukum pribadi Muslim” berarti hukum pribadi umat Muslim berdasarkan syariat yang berlaku bagi seluruh umat Muslim di India, tanpa membedakan alirannya apakah Sunni, Syi’ah, Hanafi, Syafi’i, Maliki, Hambali, Ahl al-Hadist, Itsna Asyari, Itsna Isma‟ili, atau aliran Islam yang lainnya karena mereka semua adalah Muslim.

Darul Qaza Sebagai Lembaga Peradilan Informal di India

Di India terdapat lembaga bernama  Darul Qaza  atau yang dikenal sebagai Shariah Court di negara lain. Darul Qaza merupakan kumpulan para alim (qazi) yang memiliki otoritas dalam membantu pihak-pihak yang bersengketa menurut prinsip syariah, menangani hal-hal kekeluargaan seperti hukum pernikahan, perceraian, warisan, pemeliharaan, dan hak asuh anak.Keberadaan Pengadilan Syariah ini tidak bertentangan dengan semangat Konstitusi India. Karena jauh sebelum Inggris menjajah, Darul Qaza sudah ada sejak zaman pemerintahan Dinasti Mughal. Konstitusi India secara khusus menjunjung tinggi fungsi Pengadilan Syariah, sebagaimana dalam Pasal 372.

Jadi  India terdapat lembaga yang bernama Darul Qaza. Lembaga  ini seperti Pengadilan Syariah, yang di dalamnya terdapat alim ulama yang mempunyai otoritas menyelesaikan masalah-masalah para pihak sesuai dengan prinsip syariah. Lembaga ini didukung oleh Mahkamah Agung India yang termasuk ke dalam Non Government Organization (NGO). Namun, ia seperti lembaga konseling dan ADR yang tidak mempunyai sanksi hukum dan putusannya tidak mengikat. Banyak para Muslim yang lebih memilik Darul Qaza daripada Pengadilan Sipil, karena prosesnya lebih cepat dan murah, serta diputus oleh ulama yang paham  Islam secara langsung. Saat ini, pengadilan Syariah di India dikelola dan berada di bawah naungan All India Muslim Personal Law Board (AIMPLB).

  1. Reformasi Hukum Keluarga Islam di India

 Upaya paling penting di antara langkah-langkah legislatif yang berkaitan dengan reformasi hukum keluarga Islam di India yaitu diundangkannya The Dissolution of Muslim Marriages Act 1939. Undang-undang tersebut disahkan oleh badan legislatif pusat di India Inggris (ketika India masih menjadi negara jajahan Inggris) pada tahun 1939 yang berisi mengenai alasan-alasan perceraian yang dapat diajukan oleh wanita Muslim.. Metode yang digunakan dalam melakukan reformasi hukum keluarga, khususnya dalam  bidang perceraian tersebut yakni yang  disebut dengan takhayyur.

Di India, mazhab Hanafi diikuti secara ketat. Sebagaimana diketahui, bahwa mazhab Hanafi memiliki konsep paling kaku dalam hal penerapan hak perempuan untuk mengusulkan perceraian di muka pengadilan. Sebagai Mazhab yang paling banyak diikuti oleh Muslim India, maka menjadi kesulitan tersendiri bagi banyak kaum wanita yang telah menikah untuk dapat mengusulkan perceraian atas berbagai alasan yang memungkinkan kecuali murtad.Mengenai murtadnya wanita Muslim, beberapa ulama berpendapat bahwa dalam kasus seperti itu perkawinannya dengan suaminya tidak akan dibubarkan dan wanita yang murtad tersebut akan di penjara hingga dia kembali kepada Islam. Namun di India Inggris kala itu, hal ini sulit untuk diterapkan. Oleh karena itu pengadilan menerapkan aturan lain dalam hukum Islam yang di dalamnya menyatakan bahwa kemurtadan seorang wanita dapat mengakibatkan putusnya perkawinan.

[2] Namun selama awal abad ke-20, banyak kasus yang terjadi di India dimana para wanita Muslim yang ingin bercerai dengan suaminya melakukan perbuatan murtad. Banyak dari mereka yang murtad demi bisa bercerai dari suaminya, sebab hanya dengan alasan murtadlah perkawinan mereka dapat putus. Kemudian, sejumlah organisasi dan cendekiawan Muslim di India merasa terpanggil atas kasus tersebut. Mereka mulai memikirkan tentang bagaimana cara dan sarana untuk mengatasi wanita Muslim yang murtad hanya karena hukum agama mereka tidak mengizinkan mereka secara sah untuk bercerai dari suaminya.Konsep cerai gugat ini merupakan suatu hal yang perlu diatur ketentuannya. Hal ini sejalan dengan pernyataan yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham, bahwa tujuan hukum ialah untuk mewujudkan the greatest happines of the greatest numbers (kebahagiaan terbesar untuk banyak orang).Tujuan hukum dalam hal ini sesuai dengan teori filsafat hukum utilitarianisme, dimana hukum yang diciptakan oleh pemerintah berdayaguna dan mendatangkan maslahat. Karena sebelumnya di India, banyak wanita yang murtad demi bisa bercerai dari suaminya. Maka untuk menghindari mudarat dengan semakin banyaknya wanita yang murtad, pemerintah India membolehkan istri untuk mengajukan cerai gugat, yang tentunya dengan alasan-alasan yang telah ditentukan di dalamnya.

Mayoritas penduduk Muslim India yang merupakan penganut Sunni, khususnya Mazhab Hanafi memungkinkan mereka berpendapat bahwa suami dapat menceraikan istrinya hanya dengan mengucapkan kata talak tiga sekaligus, kapan saja melalui berbagai media bahkan tanpa alasan apapun. Hanya karena masalah kecil atau ketika dalam keadaan marah, kata talak tiga terucap dengan mudahnya begitu saja oleh para suami. Hal ini tentu merugikan pihak istri. Para suami yang menalak tiga istrinya itu pergi begitu saja tanpa memberikan nafkah iddah maupun kesempatan untuk rujuk. Oleh karena maraknya praktik talak tiga yang terjadi serta untuk melindungi wanita dari dampak buruk talak tiga tersebut, maka pemerintah India pada 31 Juli 2019 menetapkan The Muslim Women (Protection Of Rights On Marriage) Act. [3]

 

 

BAB III

PENUTUP

 

  1. Kesimppulan

Hukum Keluarga Islam di Negara Pakistan dan India memiliki perbedaan yang signifikan  seperti peraturan mengenai hukum keluarga di setiap Negara tersebut. Pakistan yang di dominasi masyarakatnya beragama islam, hukum keluarga islamnya menyangkup segala aspek dalam hal peraturan tentang  batas usia nikah, poligami, perceraian, pencatatan nikah serta wasiat janabah. Adapun di India, agama islam merupakan minoritas, tapi pemerintahnya tetap menjamin hak-hak kebebasan beragama . Adapun di India terdapat Darul Qaza Sebagai Lembaga Peradilan Informal berbentuk Pengadilan Syariah, yang di dalamnya terdapat alim ulama yang mempunyai otoritas menyelesaikan masalah-masalah para pihak sesuai dengan prinsip syariah. Selain itu, di India para wanita Muslim yang ingin bercerai dengan suaminya melakukan perbuatan murtad. Hal ini karena aturan dari mazhab Hanafi yang ketat sehingga pemerintah India membolehkan istri untuk mengajukan cerai gugat. Adapun di India suami dapat menceraikan istrinya hanya dengan mengucapkan kata talak tiga sekaligus, kapan saja melalui berbagai media bahkan tanpa alasan apapun.  Praktik talak tiga yang terjadi maka pemerintah India pada 31 Juli 2019 menetapkan The Muslim Women (Protection Of Rights On Marriage) Act.

  1. Saran

Hukum keluarga di Pakistan dan India memiliki perbedan, namun sebagai umat islam harus mengetahui betapa pentingnya penerapan hukum keluarga islam dalam kehidupan sehari-hari sesuai syariat dan ketentuan agama islam  sebab islam mengajarkan berbagai aspek terutama tentang hukum keluarga yang penerapannya di terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Mahmood, Tahir. Muslim Personal Law: Role of the State the Subcontinent. New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, 1977.

Mahmood, Tahir. Personal Law in Islamic Countries: History, Text, and Comparative Analysis. New Delhi: Time Press, 1987.

Mahmood, Tahir. Statute-Law Relating to Muslims in India: A Studi in Constitutional and Islamic Perspectives. Cet. I. New Delhi: Institute of Objective Studies, 1995.

Butt, Tahseen & Associates. Muslim Marrieage Law in Pakistan, artikel diakses pada tanggal 29 Oktober 2012

Mufti2, Hukum Keluarga Islam di Pakistan, artikel diposkan pada tanggal 22 April 2012

Mustari, Abdillah. Hukum Perkawinan Negara Muslim, artikel diakses pada tanggal 24 Oktober 2011 Tovich, Van. Pemberlakuan Hukum Keluarga di Dunia Muslim, artikel diposkan pada tanggal 24 Februari 2009

[1] Tahir Mahmood, Prsonal Law In Islamic Cauntries (history, text and comparative analisys) New Delhi, Academy Of Law And Religion, 1987,hlm.59

[2] Tahir Mahmood, Muslim Personal Law: Role of the State the Subcontinent, (New Delhi: Vikas Publishing House PVT LTD, 1977), h. 53.

Takhayyur adalah mengganti dan memilih prinsip-prinsip hukum suatu mazhab yang dianut di suatu negara dengan prinsip-prinsip hukum dari mazhab lain yang dinilai lebih sesuai dengan masyarakat negara tersebut.

[3] The Family Courts Act, .Act No. 66 of 1984, Section 7. 14 September 1984, Gazette of India  Ministry of Law, Justice and Company Affairs, Legislative Department. New Delhi.

Yatish Kumar Sharma dan Rashmi Khorana Nagpal, Human Rights of Married Muslim Woman on Triple Talaq in India, (The Research Journal of Social Sciences, Juni 2019, volume 10 nomor 6), h. 694.

Triple Talaq: India Criminalises Muslim „Instant Divorce‟, BBC News, 30 Juli 2019. Diakses dari https://www.bbc.com/news/world-asi

 

 

Artikel ini telah dibaca 4 kali

yayan nuryana badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ujicoba Tulisan 3

21 Mei 2025 - 12:40 WIB

Ujicoba Tulisan 2

21 Mei 2025 - 12:37 WIB

Ujicoba Tulisan

21 Mei 2025 - 08:30 WIB

Menikah Adalah Menuju Surga

9 Mei 2025 - 19:13 WIB

Rahasia Kedamaian Rumah Tangga dalam Islam

9 Mei 2025 - 12:57 WIB

Membangun Pesantren Ungul Melalui Pendekatan Manajemen

1 Mei 2025 - 10:35 WIB

Trending di Jurnal