Menu

Mode Gelap

Artikel · 29 Jan 2025 08:59 WIB ·

PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG ANAK SAH (Analisis Pasal 53 dan Pasal 99 KHI)


 PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM TENTANG ANAK SAH (Analisis Pasal 53 dan Pasal 99 KHI) Perbesar

PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) TENTANG ANAK SAH

(Analisis Pasal 53 dan Pasal 99 KHI)

 

 

Oleh :

 Khaerul Umam, S.Ag*)

 

A. PENDAHULUAN

         Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum materiil dari salah satu di antara hukum positif yang berlaku di Indonesia. Berlakunya Kompilasi Hukum Islam tersebut berdasarkan INPRES No. 1 Tahun 1991 dan menjadi landasan pengaplikasian Hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama, karena itu perlu adanya penyebarluasan kepada masyarakat, agar dijadikan wahana dalarn mewujudkan kepastian hukum bagi masyarakat Islam di Indonesia. Kompilasi Hukum Islam diharapkan dapat berfungsi sebagai pegangan para hakim di Pengadilan Agama dan masyarakat dalarn mencu•i keadi]an. Hal ini dapat diperhatikan dari pasal demi pasal yang memuat Hukum Perkawinan, Kewarisan dan Wakaf.

      Meskipun demikian ada salah satu masalah yang menarik, yang dikhawatirkan akan menimbulkan ganjalan dalam pemikiran umat Islam tersebut. Masalah tersebut adalah mengenai anak sah, yakni siapa saja yang dimaksud disini apakah anak yang dilahirkan akibat perkawinan yang sah baik itu dilahirkan akibat perkawinan sebelum hamil atau kawin hamil? Jika anak akibat kawin harnil dikategorikan sebagai anak sah, dikhawatirkan apakah si pelaku zina itu berarti melecahkan hukum dan meremehkan perbuatan zina? Sehingga akan membuka peluang pada seseorang untuk berbuat zina, toh akhimya yang akan dilahirkan nanti sebagai anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam.

       Karena tidak adanya limitasi bunyi kalimat pada Pasal 99 KompiIasi Hukum Islam secara tegas, dapat menjadi masalah dilematis bagi umat Islam di Indonesia; mengapa batas minimal 6 bulan bagi seorang anak dapat dilahirkan tidak dicantumkan dalam pasa1 99 tersebut? Sejauh manakah kemaslahatan yang terdapat pada pasal 99 sehingga relevan dengan kondisi umat Islam di Indonesia? Oleh karena itulah masalah ini menarik untuk dianalisi dan dikaji serta bagaimana alternatif antisipasinya.

B. PEMBAHASAN

  1. Legalisasi Keturunan

        Untuk mengetahui sah tidaknya keturunan, ada beberapa faktor yang harus dipenuhi; Pertama, hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah, kedua, pengakuan dari suami atau ayah dari sang anak, dan ketiga, bukti-bukti lain yang mensahkan keturunan, Salah satu target yang paling esensi bahwa Islam mensyari’atkan perkawinan dengan tujuan melanjutkan keturunan yakni memperoleh keturunan (anak) yang bersih, jelas ibu-bapaknya, jelas pula yang manakah yang harus dijadikan acuan pemeliharaan dan acuan pendidikan terhadap anak-anaknya sehingga menjadi anak yang shaleh.

      Dalam hal ini syari’at Islam melarang semua perbuatan yang menyebabkan tidak jelasnya ibu bapak seorang anak, seperti perbuatan zina, free sex antara laki-laki dan perempuan dan semua perbuatan yang berindikasi kepada kondisi tersebut.

           Ukuran perkawinan yang sah adalah berdasarkan akad nikah yang sah antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Namun demikian perkawinan yang hakiki baru terjadi bila suarni istri telah melakukan coitus. Jika dari hubungan itü kemudian si istri hamil kemudian melahirkan anak, maka anak yang lahir itil adalah anak yang sah. karena itü ukuran sah ini tidak terlepas dari akad nikah yang sah pula dengan arti bahwa bapak dan ibu dari anak itü dapat djketahui dengan pasti sesuai dengan ketentuan-ketentuan syari’at. Hal ini sesuai dengan hadits riwayat imam Muslim yang berarti anak itü milik suami ibunya (bapak) (İmam Muslim, 1377 H: 661). Jadi hubungan suami istri dalam perkawinan yang sah dapat djjadikan indikator dalam menentukan sah tidaknya keturunan.

      Adapun syarat-syarat sahnya perkawinan adalah sebagai beıikut, 1) mempelai perempuan halal dinikah oleh laki-laki yang akan menjadi suaminya (QS.An-Nisa’: 22-24), 2) dihadiri dua orang saksi laki-laki, 3) Ada wali mempelaj perempuan yang melakukan akad (Ahmad Azhar Basyirj MA: 1989: 27). Sedang anak yang lahir dari perkawinan yang sah tidak terlepas dari syarat sahnya perkawinan tersebut. Syarat tersebut mempunyaj batasan sebagai berikut : a) Alternatif istri hamil, b) limit minimal kelahiran, c) limit maksimal kelahiran dan d) tidak adanya sangkalan dari suami terhadap anak yang dilahirkan istrinya.

          Istri dapat dimungkinkan hamil jika suami sudah dewasa atau balig. Tetapi jika suami masih kecil atau belum balig maka menurut rasio, suami tersebut tidak bisa menyebabkan istrinya hamil. Jika istri tersebut hamil, maka anak yang dilahirkan dapat tidak diakui ada hubungan keturunan dengan suami yang masih kecil itü (Zakaria Ahmad Al Barryj, tt :17). Adapun yang dimaksud dengan limit minimal kelahiran bahwa istri melahirkan anaknya minimal setelah berlalu 6 bulan dari tanggal dilangsungkan akad nikah dan telah terjadi coitus, karena masa enam bulan ini masa hamil yang relatif singkat dan bila bayi dilahirkan pada masa enam bulan dimungkinkan hidup karena sudah ditiupkan ruh ke dalam jasadnya (Ahmad Azhar Basyir, MA 1989: 95).

       Dalam Al-Qur’an Surat al-Ahqof ayat 15 menyatakan, yang artinya : ‘”Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah (pula), mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan”, (Departemen Agama 1974: 824). Juga dalam Al-Qur’an Surat Luqman ayat 14 menyatakan yang artinya : “Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambahtambah dan meyapihnya dalam dua tahun”, (Departemen Agarna 1974: 654), Al-Qur’an Surat al-Ahqof ayat 15 memberi pengertian bahwa masa hamil dan masa menyusui itü adalah tjga puluh bulan, sedang dalam surat Luqman ayat 14 masa menyusui adalah 2 tahun atau 24 bulan, dengan demikian dapat ditetapkan masa hamil minimal yaitu 30 bulan dikurangi 24 bulan menjadi 6 bulan (Bimbaga İslam, 1984/1985: 175).

         Sedang yang dimaksud dengan limit maksimal kelahiran, meskipun terdapat beberapa pendapat yang menurut Syi’ah 9 atau 10 bulan, menurut Imam Hanafi 2 tahun, menurut Imam Syafi’i 4 tahun, menurut Imam Maliki 5 tahun dan menurut Daud Adz Dzahiri adalah 12 bulan (DR. Mustafa As Siba’i, 1965: 291), tetapi pengaruh waktu dan lingkungan masyarakat dapat dijadikan limit maksimal kelahiran tersebut. Persoalan ini timbul karena ada seörang istri melahirkan setelah ditalak suaminya. Apakah anak yang dilahirkan itu anak bekas suaminya atau bukan? Menurut pendapat rajih adalah apabila anak itu lahir maksimal setelah 9 atau 10 bulan dinitung sejak saat jatuhnya talak, maka anak tersebut adalah anak suaminya (DR. Musthofa As Siba’i, 1965: 293). Tetapi kalau anak lahir setelah lewat 10 bulan dihitung sejak saat jatuhnya talak, hal ini terdapat perbedaan pendapat ulama’ sebagaimana tersebut di atas. Jika dilihat dari lamanya masa kehamilan pada kebiasaan yang terjadi, maka sebenarnya masa kehamilan yang minimal adalah 6 bulan setelah coitus dan maksimal 12 bulan setelah coitus. Tentang masaIah minimal kehamilan ini sesuai dengan analisa Ibnu Abbas Yang berdasarkan Al-Qur’an yang kemudian dilegalisir Oleh khalifah Utsman bin Affan.

          Ada pun Yang dimaksud dengan tanpa sangkalan adalah tidak adanya sangkalan dari suami terhadap anak yang dilahirkan oleh istrinya. Jika suami menyangkal atau tidak mengakui anak tersebut maka timbul masalah li’an (Ibnu Rusyd, 1966: 236). Setelah teiadi li’an maka anak tersebut bukan anak sang suarni (Al-Qur’an Surat An Nur: 6-9).

          Legalisasi keturunan yang kedua adalah pengakuan. Ada dua jenis pengakuan yaitu langsung dan tidak langsung. Pengakuan langsung seperti seorang bapak mengakui bahwa seseorang adalah anaknya (Bimbaga Islam, 1984/1985: 178) Jika terjadi seperti ini maka ibu si anak menjadi istri dari bapak. si anak itu (jika belum pemah kawin dengan laki-laki Iain). Pengakuan tidak langsung seperti seseorang mengakui bahwa seseorang adalah cucunya. Untuk menetapkan bahwa orang lain itu adalah cucunya, misalnya si A mengakui si B adalah cucunya. Untuk itu harus dibuktikan lebih dahulu apakah si A mempunyai anak laki-laki dan pernah kawin dengan perempuan lain kemudian punya anak B, maka pernyataan si A bahwa si B betul-betul cucunya. Oleh karena itu pengakuan tersebut sah (Bimbaga Islam, 1984/1985: 178).

         Untuk sahnya suatu pengakuan terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi yaitu; a) Jika orang yang diakui sebagaj anak atau sebagai anggota keluarganya itu adalah orang yang tidak diketahui keturunannya b) Terdapat persamaan hal-hal antara yang diakui dengan orang yang mengakui baik bentuk maupun perbedaan umur, sehingga mungkin dikatakan bahwa anak itu adalah anak dari si bapak yang mengakuinya c) Anak tersebut bukan anak Zina atau anak tersebut. bukan anak hasil perzinaan, anak menurut agama Islam hanyalah anak hasil dari perkawinan bukan dari perzinaan. Firman Allah SWT menyatakan, yang artinya: “Allah menjadikan bagi kamu istri-ist.ri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagi kamu dari istri-istri kamu itu anak-anak dan cucu dan memberi kamu rizki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah”, (Departemen Agama, 1974: 412) d) Saling memberikan pengakuan itu antara orang yang diakui dengan orang yang mengakui bagi kedua belah pihak yang telan mumayyiz. (Zakaria Ahmad Al Barry, tt: 27-28).

          Legalisasi keturunan yang ketiga adalah bukti yang sah. Jika seseorang menyatakan bahwa anak si Fulan atau cucu si A dan sebagainya, tetapi pernyataan itu haruslah disertai alat-alat bukti. bukti tersebut berupa persaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dengan dua orang perempuan. (Zakaria Ahmad AI Barry, tt; 41). Hal ini Firman Allah menyatakan yang artinya : “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang laki-laki diantara kamu, jika ada dua orang Iaki-laki maka boleh seorang laki-laki atau seorang lelaki dan dua orang perempuan diantara saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya”, (Departemen Agama, 1974: 282). Agar ada kepastian hukum maka pembuktian ini dilakukan dan ditetapkan oleh Pengadilan dengan keputusan atau ketetapan hakim.

  1. Segi positif dan negatif Pasal 53 dan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam sebagai ciri khas keindonesiaan

          Anak sah yang dimaksud dalam pasal 99 Kompilasi Hukum Islam adalah anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, serta hasil pembuahan suami istri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut, (Departemen Agama, 1991/1992: 46). Sedang menurut pasal 42 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 berbunyi sebagai berikut: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah”. (Undang-Undang Perkawinan, 1985: 15).

          Secara tekstual tidak ada limitasi redaksi pada definisi anak sah pada point pertama kedua pasal di atas. Apalagi kalau dikaitkan dengan bunyi Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam; (1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menhamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya, (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan ulang setelah anak yang dikandung lahir. (Departemen Agama, 1991/1992: 32). Anak sah di sini juga termasuk anak hasil kawin harnil yang dituangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 53. Adanya ketentuan ini dapat dipandang sebagai ketentuan baru dalam hukum Perkawinan di Indonesia dalam menetapkan kepastian persoalan yang masih dilematis. Akan tetapi masih belum jelas pengaturannya, bagaimana kalau yang mengawini itu bukan laki-laki yang menyebabkan kehamilan sebagaimana banyak terjadi dalam kenyataan di Indonesia.

          Mengenai kawin hamil menurut hukum Islam terdapat beberapa pendapat yang dapat dijadikan suatu dasar hukum. Menurut Mazhab Syafi’i gadis hamil boleh dinikahi oleh siapa saja, karena dia belum ada suaminya. Dan laki-laki yang menikahinya (baik Yang menghamili atau orang Iain) boleh menggaulinya, karena gadis yang dinikahi tersebut sudah menjadi istri yang halal. Dengan demikian pernikahannya sah dan anak yang dilahirkan oleh gadis tersebut menjadi anak sah. (Dr. Mustafa As Siba’i, 1965: 335).

       Menurut Mazhab Hanafi, boleh dinikahkan gadis hamil itu dengan siapa saja, dengan ketentuan jika yang menikahi itu laki-laki yang menghamilinya, si wanita boleh digauli seperti yang telah dilakukan sebelum nikah, tetapi apabila yang menikahi gadis tersebut laki-laki yang bukan menghamilinya, tidak boleh digauli istrinya itu sampai melahirkan. Dan setelah melahirkan disunatkan (bukan diwajibkan) untuk menikahi kembali sekedar upacara karena sejak itu mau menggaulinya (Dr. Musthofa As Siba’i, 1965: 335). Dengan demikian maka apabila yang menikahi laki-laki yang menghamilinya dan lahir anaknya maka anak tersebut adalah anak sah. Tetapi kalau yang menikahi bukan laki-laki yang menghamilinya maka jika anaknya lahir, anak tersebut hanya bernasab kepada ibunya.

    Menurut Mazhab Maliki, gadis hamil hanya boleh dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, tidak sah dinikahi oleh laki-laki lain. Ini berarti jika laki-laki yang menghamilinya mati atau menghilang, gadis tersebut harus menungggu sampai melahirkan, baru boleh dinikahi laki-laki lain yang menginginkannya. Tetapi jika gadis hamil itu dinikahi oleh laki-laki yang menghamilinya, maka mereka boleh bergaul suami istri, tidak perlu lagi menikah setelah anaknya lahir. Dengan demikian maka anak yang dilahirkan adalah anak yang sah bagi keduanya. (Dr. Mustafa As Siba’i, 1965: 336).

       Menurut Mazhab Hambali, gadis hamil tidak boleh dikawini oleh laki-laki siapa pun juga termasuk laki-laki penyebab kehamilannya, alasannya adalah agar para gadis yang hamil diluar nikah tidak “tuman” atau terbiasa lagi dengan perbuatan zina, dan supaya kehamiIan jangan dijadikan alasan untuk cepat menikah, serta orang tua tidak bisa lagi dipaksa untuk menikahkan anaknya dengan ala-san sudah hamil. (Dr. Mustafa As Siba’i, 1965: 336). Pendeknya supaya tidak ada lagi perzinaan, biarlah gadis yang sudah hamil menjadi korban, tetapi gadis lain dapat mengambil contoh untuk tidak menirunya.

       Mengkaji beberapa pendapat diatas, maka dalam menetapkan kepastian hukum tentang kawin hamil dan kesahan anak menurut Pasal 53 dan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam seharusnya menganut Mazhab Maliki. Hal ini menurut hemat penulis lebih relevan dengan kondisi umat Islam di Indonesia dan demi perlindungan hukum kepada anak yang dilahirkan hasil kawin hamil tersebut. Selain itu, kalau dilihat dari sisi anak, sangat menguntungkan baik dari segi psikis dan perkembangannya.

      Gadis hamil diluar nikah adalah akibat lemah iman dan degradasi moral yang sama seka]i tidak ada hubungannya dengan bayi yang dilahirkan. Sehingga apabila gadis hamil di luar nikah tersebut tidak dinjkahkan akan mengalami stress mental yang berkepanjangan karena dirinya melahirkan tanpa suami, dan yang diuntungkan adalah pria yang menghamilinya bebas melenggang, tidak bertanggung-jawab dapat seenaknya menikah dengan gadis lain karena status hukumnya masih perjaka.

    Tetapi kelemahan Pasal 53 ini, bagaimana jika pria yang menghamilinya tidak bertanggung jawab kemudian menghilang tak tentu rimbanya? Hal ini selain merugikan gadis yang hamil juga mengancam masa depan anak yang akan dilahirkan. Apakah tidak ada alternatif lain, sehingga pria yang tidak menghamilinyapun dapat menikahi gadis hamil tersebut?

       Walaupun pendapat Mazhab Maliki yang dianut oleh Kompilasi ini, sudah sejalan dengan Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 3 bahwa laki-laki yang berzina tidak boleh mengawini wanita baik melainkan dengan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin, (Departemen Agama, 1974: 543). (Al Imam Abi Dawud Sulaiman, tt : 221)

      Kelemahan lain Pasal 53 ini memberi angin segar kepada para pelaku zina, karena perkawinannya direstui Kompilasi Hukum Islam terlepas dari hukum rajam di dunia dan anak yang dilahirkannya diakui sah oleh pasal 99. Kesemuanya itu baik penetapan hukum dan sosialisasinya dalam Pengadilan Agama maupun dalam perundang-undangan menurut Prof. Dr. H. Rahmat Djatnika salah seorang tim perumus Kompilasi Hukum Islarn, mengandung masalah ijtihad ulama Indonesia dengan menggunakan metode Al-Istislah, Al-Istihsan, AI-Urf yang bertujuan untuk menolak kerusakan didahulukan atas mendatangkan kemaslahatan.

          Walaupun demikian pada hemat penulis lebih cenderung kalau Pasal 53 dan pasal 99 Kompilasi Hukum Islam ditambah ayatnya, untuk lebih menjelaskan tentang siapa saja yang boleh menikahi gadis hamil, dan membatasi definisi anak sah beserta syarat-syarat untuk mengantisipasi perkembangan masyarakat dengan kompleksitas permasalahannya. Sebagai sebuah hasil pimikiran manusia maka Kompilasi Hukum Islam tentu saja jauh dari sempuma. Tetapi kita harus menerimanya dengan segala kekurangannya. Kompilasi bukanlah hasil pemikiran yang final, oleh karena itu masih terbuka alternatif penyempumaannya.

C. PENUTUP

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Pasal 53 dan Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam mementingkan kemaslahatan gadis hamil dan anak yang akan dilahirkan, serta mendahulukan menolak kerusakan atas mendatangkan kemaslahatan demi mengantisipasi perkembangan masyarakat Indonessia yang semakin kompleks dengan permasalahan tanpa menghilangkan nilai-nilai hukum Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman,H,SH,HM, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Preesindo, cet. ke I, 1992

Ash Shiddieq, TM. Hasbi, Prof. Dr, Falsafah Hukum Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1975

As Siba’i, Mustafa, Dr, Al Ahwa-lusysyakhsiyah, Damsyik: Toba’aah Sabi’ah, 1965

Ahmad al Barry, Zakaria, Hukum Anak-anak dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, tt.

Azhar Basyir, Ahmad, MA, Hukum Perkawinan Islam, Yogyakarta: Perpustakaan F.H. Ull, 1989

Departemen Agama, Ilmu Fiqh, Jakarta: Dirjen Bimbaga Islam, cet. ke II, 1984

Departemen Agama, Kompiliasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Humaniora Utarna Press, 1991/1992

Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1974

Hubeis, Umar, Ai Fatawa, Surabaya: Pustaka Progressif, 1975

Imam Muslim, Shahih Muslim, Mesir: Mustofa AI Halabi Wa Auladahu, Jus I tt.

Rusydy Ibnu, Bidayatul Mujtahid, alih bahasa A. Hanafi, MA, Jakarta: Bulan Bintang, tt.

Sabiq, Sayid, Fiqh Sunnah, Bandung: PT. Al Ma’arif, cet. ke 3, 1985

Sulaiman, Abi Dawud, Sunnah Abu Dawud, tk: Darul Fikir, tt.

Umar, Muin, Drs, dkk, Ushul Fiqh, Jakarta: Departemen Agama, 1985

Zuhdi, Masyfuk, Prof, Drs, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung, ct. ke II, 1991

————-

**) Penulis adalah Penghulu Ahli Madya pada KUA Pakuhaji Kab.Tangerang,  Da’i/Penceramah, penulis, dan pemerhati sosial keagamaan.

 

Artikel ini telah dibaca 4 kali

Khaerul Umam badge-check

Penulis

Baca Lainnya

Ujicoba Tulisan 3

21 Mei 2025 - 12:40 WIB

Ujicoba Tulisan 2

21 Mei 2025 - 12:37 WIB

Ujicoba Tulisan

21 Mei 2025 - 08:30 WIB

Menikah Adalah Menuju Surga

9 Mei 2025 - 19:13 WIB

Rahasia Kedamaian Rumah Tangga dalam Islam

9 Mei 2025 - 12:57 WIB

Raih Pahala Berlimpah, Dengan Menanam Pohon

22 April 2025 - 14:15 WIB

Trending di Artikel